ANTARA
AKU, IBUKU DAN CALON ISTERIKU
Oleh : Abdari
Muzara
”KAPAN kau menikah,
Di?” Begitulah pertanyaan yang selalu ditujukan kepadaku, baik oleh keluarga,
teman sekantor maupun tetangga apabila aku terlibat perbincangan yang akhirnya
menjurus ke masalah rumah tangga atau perkawinan. Ujung-ujungnya pertanyaan seperti
itu yang tercetus dari mulut mereka.
“May…. May be….!”
Sahutku menirukan gaya iklan sebuah rokok. Hanya itu yang dapat kulakukan. Dan,
dengan penuh kejengkelan. Sungguh!
Kadang-kadang
pertanyaan seperti itu membuatku garigitan, gemas. Usil amat, kataku dalam
hati. Memangnya tidak ada pertanyaan lain? Apakah kalau aku tidak menikah,
mereka rugi? Pertanyaan basa-basi atau keisengan saja? Tidak ada bahan
pembicaraan lain? Huh…! Nanti bila aku sudah menikah, memangnya mereka berhenti
bertanya? Kurasa tidak! Kalau terlambat punya anak, aku yakin dari mulut mereka
pasti akan terlontar pertanyaan: kenapa belum punya anak juga? Siapa yang
buntat, mandul? Kamu….? Atau isterimu?
Dan apabila punya
anak, apakah pertanyaan mereka akan berhenti? Kurasa tidak! Sebab pertanyaan
berikutnya — pasti — adalah: kapan nambah anak lagi? Kalau lambat-lambat, nanti
ketuaan. Sudah pensiun anak masih kecil, akan bikin pusing! Atau…: Kasihan
isterimu, kalau mengandung terlalu tua, berbahaya! Resiko tinggi kata orang
kesehatan. Bah…, Mauk….!
Kalau anak kedua
atau ketiga mancungul, nongol, apakah sudah cukup? Yakin…, aku yakin, pasti
tidak. Pertanyaan berikutnya adalah: bla, bla, bla…. Begitulah…, begitulah…!
Dan seterusnya. Mauk….! Masih mending kalau pertanyaannya: kapan nambah isteri
lagi? Jangan-jangan nanti jawabanku penuh ada emosi: nanti, setelah kamu mati…!
Hapuk liur!
Aku merupakan anak
bungsu dari lima bersaudara. Profesiku adalah dokter. Pagi bekerja di
puskesmas, sorenya aku praktik. Aku tinggal bersama ibuku dan seorang pembantu.
Ayahku sudah lama meninggal dunia. Keempat kakakku sudah menikah dan tinggal
terpencar di berbagai kota di Kalimantan Selatan bersama keluarga
masing-masing.
Usiaku sekarang 30
tahun, suatu usia yang lebih dari cukup untuk menikah dan membentuk sebuah
rumah tangga. Dari segi fisik, aku tidak mempunyai masalah. Maksudku, wajahku
cukup tampan dan postur tubuhku sedang. Tidak pendek dan tidak terlalu tinggi.
Dari segi sosial, pergaulan, aku tidak memiliki masalah bergaul dengan wanita.
Buktinya aku sudah enam kali pacaran, dan yang memutuskan hubungan adalah aku,
bukan mereka! Lho…? Apakah aku merasa tidak cocok dengan mereka…? Sebenarnya
tidak juga!
Masalahnya…, nah
ini…! Aku terlalu sayang dan cinta pada ibuku. Wanita yang telah melahirkanku,
yang sangat gigih mencarikan biaya kuliahku hingga aku berhasil menjadi seorang
dokter. Kini sudah dua tahun ibuku tidak dapat ke mana-mana. Hanya berada di
rumah. Aktivitas yang dapat dilakukannya hanyalah duduk atau berbaring di
tempat tidur. Mau berjalan harus dipapah. Ibuku terkena stroke. Walaupun aku
dokter, bukan berarti aku dapat membuat ibu sembuh atau minimal tidak selalu
dibantu ketika berjalan. Aku hanyalah dokter umum, bukan spesialis. Yang mampu
kulakukan hanyalah membawa ibu secara rutin berobat ke seorang dokter ahli
saraf di Banjarmasin. Untuk menjaga ibu selama aku bekerja atau tidak ada di
rumah, maka tugas itu kulimpahkan pada Acil Imah, pembantu rumah kami. Dia
kuajari bagaimana memencet telepon rumah kalau sewaktu-waktu perlu menghubungi
aku atau keluarga yang lain apabila penyakit ibu bermasalah.
* * *
MUNGKIN akulah
satu-satunya dokter puskesmas yang masih membujang di kabupaten tempatku
bekerja. Dalam setiap rapat di Dinas Kesehatan kabupaten, aku sering
diolok-olok teman sejawat atau kepala puskesmas yang lain. Bahkan kepala dinas
atau para kasubdin (kepala sub dinas) dan kasi (kepala seksi) ikut-ikutan
mengolok-olok. Aku hanya dapat tersenyum masam. Dalam hati, dongkol bukan main.
Dongkol…! Hihhh…!
“Pak Rudi,
memangnya bidan desa di tempat kerjamu sudah berkeluarga semua? Sampai-sampai
Anda tidak mendapatkannya seorang pun,” kata Dokter Agung di tengah
mendengarkan rapat. Suaranya cukup keras, namun berhubung sound system di dalam
ruang rapat juga cukup keras, maka suara Dokter Agung menjadi tidak terdengar
oleh yang lain. Atau mungkin yang lain pun tengah asyik berbincang-bincang
dengan orang di sampingnya.
“Nggak level,”
sahutku sekenanya. Aku sedang menerima telepon dari Abdi, teman karibku sejak
SMP. Setelah lulus SMA, dia meneruskan kuliah ke teknik sipil, sedangkan aku ke
kedokteran. Sama-sama di Unlam. Abdi mengajakku makan di Bincau, tempat
rekreasi pemeliharaan ikan di kolam.
“Aku sedang rapat.”
Hampir aku berteriak di sela-sela berisik suara orang yang bercakap-cakap.
“Bagaimana kalau jam setengah dua?” kataku sambil melihat ke jam tangan. Sudah
jam dua belas siang kurang seperempat.
“Baik. Kutunggu di
Warnet Lancing, Sungai Paring,” sahut Abdi.
HP kututup.
Perhatianku kupusatkan pada kepala dinas kesehatan yang tengah memberikan arahan.
“Kalau nggak level,
teman wanita waktu Anda kuliah, kan banyak?” Dokter Agung kembali mencerocos.
Aku jadi dongkol.
“Ada dua orang yang
pernah jadi pacarku ketika di kampus. Keduanya kuputus, habis tidak ada yang
cocok,” sahutku tanpa mengalihkan pandangan ke depan. Perhatianku sedang
tercurah pada arahan kepala dinas yang menjelaskan tentang juknis Program
JPK-MM (Jaring Pengaman Kesehatan Masyarakat Miskin) yang merupakan
“metamorfosis” dari JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Gara-gara
program inilah aku hampir ditusuk oleh seorang lelaki yang isterinya dioperasi
di rumah sakit. Persoalannya sepele: salah paham! Dia minta rujukan dari
puskesmas sebagai pasien yang tidak mampu. Maksudnya supaya biaya berobat di
rumah sakit diberi keringanan atau bahkan gratis. Aku yang terbiasa dengan
sikap idealis, menolak memberikan rujukan karena nama lelaki itu tidak
terdaftar sebagai keluarga miskin di wilayah puskesmas tempat aku bekerja.
Lelaki yang sudah
lelah karena harus menunggu sang isteri dan kujuk-kujuk, mondar-mandir, ke sana
kemari untuk mengurus surat keterangan miskin, kontan naik darah. Dia ternyata
membawa pisau, dan langsung dicabut hendak ditusukkan kepadaku. Untung masih
dapat ditangkap kawannya. Dia disabar, ditenangkan, kawannya itu dan staf
puskesmas yang lain. Lelaki itu segera diberi penjelasan bahwa soal
“kemiskinannya” yang tidak terdaftar di puskesmas bukan sepenuhnya kesalahan
kami, tapi juga pambakal-nya (kepala desa). Masalahnya: kenapa pada waktu
pendataan di desanya dia tidak terdata sebagai keluarga miskin?
Apa jawabnya?
“Waktu pendataan,
terus terang ulun (saya, diucapkan oleh yang muda kepada yang lebih tua [bahasa
hormat]) memang tidak termasuk miskin. Tapi kalau masalah berobat, apalagi
sampai upnama, dirawat-inap, dan operasi di rumah sakit, Bapak tahu sendiri,
orang yang sebenarnya tidak miskin pun akan menjadi miskin. Biaya berobat di
rumah sakit sekarang ini sungguh mahal. Mencekik leher!
Kadang-kadang kami
pikir, pasien dijadikan sapi perahan. Dijadikan korban dari persaingan dokter
bersama perusahaan obat. Belum habis obat yang satu dimakan, datang dokter lain
dan dengan seenaknya menyuruh kami mengganti obat yang sesuai dengan resepnya.
Katanya tidak cocok. Apa tidak gila? Bahkan sebelum isteri ulun dioperasi, biaya
operasi pun ternyata dapat dirundingkan. Jadi biaya yang sebenarnya itu berapa?
Kami tidak pernah diberitahu secara gamblang!”
Apa yang diucapkan
lelaki itu tidak dapat kubantah. Sebab itu kenyataan! Biaya berobat di rumah
sakit sekarang ini sungguh mahal. Rumah sakit sepertinya hanya diperuntukkan
bagi orang-orang berduit. Dan bagi orang-orang miskin dan terpinggirkan harus
puas berobat di puskesmas. Cukup dengan membayar retribusi 2.500 rupiah, maka
seribu satu macam penyakit dapat diobati di puskesmas! Rumah sakit untuk
penyakit yang ke seribu dua ke atas! Gila!
Setelah menelepon
dinas kesehatan, ternyata masih ada jatah Kartu JPK-MM bagi keluarga miskin.
Maka “kuota” Kartu JPK-MM untuk puskesmasku ditambah. Bendahara JPK-MM segera
membuatkan “kartu miskin” tersebut dan aku pun tanpa banyak cingcong membuatkan
surat rujukan untuk isterinya.
* * *
BEGITU rapat usai,
aku langsung memacu motorku ke Sungai Paring menemui Abdi. Ketika aku datang,
temanku itu masih asyik berinternet-ria. Padahal dia memiliki laptop yang
sering digunakan berselancar di dunia maya itu. Mungkin hanya untuk
menghabiskan waktu menunggu, dia memilih main internet.
Dengan motor
masing-masing kami menuju Bincau. Sambil menanti pesanan kami diantar, aku dan
Abdi asyik bapandiran, berbincang-bincang. Abdi memandang ke sekeliling. Dua
orang gadis cantik lewat di depan kami. Abdi memandang kedua wanita itu dengan
tatapan seorang liur baungan, mata keranjang. Aku terkekeh.
“Ingat yang di
rumah, Di,” kataku. Temanku ini sudah punya dua anak.
Abdi tertawa.
“Kalau sudah di luar…, yang di rumah aku lupa, Rud,” sahut Abdi tertawa. Jujur.
“Aku ke sini justeru ingin refreshing. Ibarat makanan, walaupun di rumah
lauknya ayam terus, akhirnya bosan juga, kan? Sesekali aku ingin nila
panggang!”
Hampir menunggu
setengah jam, barulah pesanan kami datang.
“Lama amat, Bang?
Apa nunggu ikannya besar?” gurau Abdi.
“Tidak,” sahut si
pengantar tersenyum. Kalem. “Cuma padinya baru dipanen. Lalu diantar ke pabrik
untuk digiling, setelah itu dibawa ke sini dan baru dimasak. Ini masih mending,
Pak. Biasanya lebih lama lagi. Soalnya padinya kami tanam dulu apabila ada yang
pesan nasi di sini. Begitu juga sayurnya, akan kami tanam dulu.”
Aku dan Abdi
tergelak. Setelah si pengantar pergi, perbincangan kami yang sempat terputus
tadi kulanjutkan. “Nila atau nila…? Jangan samakan lauk dengan isteri,”
peringatku pada Abdi.
“Aku ingin
mengajarmu bagaimana menggaet wanita.”
“Siwalan,” kataku.
“Memangnya aku tidak pernah pacaran…?” protesku pada Abdi. “Kau tahu sendiri,
enam kali aku pacaran, keenamnya aku yang memutuskan. Artinya bukannya aku
tidak bisa cari pacar atau jodoh, Di.”
“Jadi…, sebenarnya
apa masalahmu?”
Aku mengerutkan
kening. Kuhembuskan napas kuat-kuat.
“Aku tidak ingin
menelantarkan ibuku. Kalau aku berumah tangga, apakah isteriku mau melihat
perhatianku lebih terfokus pada ibuku. Kalau sampai bertengkar, pasti hati
ibuku akan sakit, terluka” sahutku. “Padahal kau tahu sendiri, kewajiban
seorang anak lelaki lebih utama kepada ibunya daripada kepada isteri atau
keluarganya sendiri.”
Abdi tertawa. Dia
geleng-geleng kepala, lantas terdiam sebentar sebelum melanjutkan ucapannya,
“Hanya itu yang ada di pikiranmu?”
“Tentu!”
“Apakah keenam
wanita yang pernah jadi pacarmu itu, hatinya demikian buruk sehingga kamu
memilih putus hubungan dengan mereka? Pernahkah kau perhatikan mereka
betul-betul, apakah ada mimik atau gelagat mereka yang tidak menyukai keadaan
ibumu itu?”
Aku menggeleng.
“Terus terang…, aku memang hanya berprasangka. Aku yang merasa tidak enak hati.
Daripada ada masalah dalam rumah tanggaku kelak, lebih baik aku yang mengambil
keputusan. Lagi pula aku tidak ingin ‘menggantung’ mereka dengan asyik
berpacaran tanpa menentukan kapan akan menikah.”
“Itu artinya kau
berburuk sangka. Terlalu curiga! Paranoid!” kata Abdi dengan kening berkerut.
“Keadaan ibuku
membuatku menjadi sensitif, Di,” kataku. “Akulah anak terakhir yang lepas dari
beban orangtua, sementara kakak-kakakku sudah lama mandiri, walaupun tidak
mampu membantu keuangan kami. Minimal mereka mampu mandiri dalam menghidupi
rumah tangga mereka, tidak bikin pusing orangtua lagi. Selain itu, akulah yang
belum berkeluarga dan dekat dengan ibu. Mau tidak mau, akulah yang harus
mangurubuti (menemani; hidup dalam satu rumah/atap) ibuku. Bahkan sampai aku
berkeluarga, pasti tidak akan dapat meninggalkan ibu. Apalagi dengan keadaannya
sekarang.”
“Sebenarnya — pada
hakikatnya — menurutku, pikiranmu yang begitu justeru adalah pikiran yang
picik. Bahkan dapat dikatakan pikiran anak durhaka, bukan pikiran anak
berbakti!”
Aku terkejut
mendengar kata-kata Abdi itu. “Apa maksudmu?”
“Artinya selama
ibumu masih hidup, dalam hatimu kamu tidak ingin kawin, begitu, kan?”
Tanpa terasa aku
mengangguk. Walaupun anggukan ragu-ragu. Di hatiku memang ada kebimbangan.
“Menurutmu, itukah
gambaran seorang anak yang berbakti?”
Aku merasa tidak
mengerti ke mana arah pertanyaan Abdi. Kucoba berpikir untuk memahami kata-kata
Abdi itu. Tapi emosiku yang sudah terpicu oleh kata-kata keras Abdi tadi
membuat aku tetap tidak mengerti.
“Sebenarnya, tanpa
kau sadari, tanpa kau bayangkan…, kamu sebenarnya mendoakan ibumu cepat mati!”
“Hah…!” Aku
terkejut sekaligus marah. Sungguh kata-kata Abdi di luar dugaanku. “Kau…, kau
jangan macam-macam, Abdi.” Emosiku semakin memuncak. Sungguh, selama puluhan
tahun berteman, baru kali ini aku emosi pada Abdi.
“Tadi kau katakan,
selama ibumu masih hidup, kamu merasa ragu-ragu untuk kawin. Dan artinya
apabila ibumu meninggal, bukankah kau dapat kawin tanpa merasa membebani ibumu?
Nah, coba pikirkan, pada hakikatnya kan sama saja kamu berdoa supaya ibumu
cepat-cepat mati agar kamu dapat kawin, menikah?”
“Tidak…! Tidak ada
maksudku begitu. Tidak ada pikiran sekotor itu di kepalaku. Di hatiku!” Suaraku
keras, membuat orang-orang yang ada di sekitar kami memandangku.
* * *
KATA-KATA Abdi
selalu terngiang-ngiang di telingaku dalam beberapa hari ini. Kata-katanya
memang sangat pedas! Kalau tidak ingat pertemanan kami yang sudah terjalin
bertahun-tahun, mungkin di Bincau itulah pertemanan itu akan berakhir. Hampir
tanganku yang sudah terkepal hendak kulayangkan ke wajah Abdi. Suara azan ashar
yang lapat-lapat berkumandang — alhamdulillah — mampu meredam kemarahanku.
Setelah itu suasana memang terasa tidak mengenakkan bagiku. Setelah makan, kami
lebih banyak diam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa menit
kemudian kami memutuskan untuk pulang.
Akhirnya aku sadar
atau memang harus menyadari, aku harus menikah selagi ibuku masih hidup. Memang
tidak ada wanita yang sempurna di dunia ini. Aku bukan Nabi Syits (putra nabi
Adam AS yang rela tidak beristeri di dunia demi sebuah pertemuan abadi kelak di
akhirat dengan sang bidadari calon isterinya).
Apa yang dikatakan
Abdi, benar-benar membuka pikiranku. Kalau ibuku meninggal, baru aku menikah,
sebenarnya atau pada hakikatnya sama saja aku mendoakan ibu agar cepat-cepat
mati agar aku dapat menikah, Naudzubillahi min dzalik….!
* * * *
Banjarbaru, 27 Mei
2008.