Rabu, 20 Februari 2013

Musim Gin Lali

Musim Gin Lali

Musim gin lali
dapatnya manusia
* * *
01//1/2011.

Kababang


Kababang

Gunung hilang
dapatnya tambang
baubah jadi luang
maulah hati pusang
* * *
01/11/2011.

Renungan(1)

Sesuatu tercipta dimulai dari sebuah khayalan.
* * *

Logika membuat karya orang terbatas, khayalan membuat karya orang tanpa batas.
* * *

Renungan(2)

Sebuah keberhasilan hanya akan dapat tercapai apabila ada kemauan dan kemampuan.
* * *

Antara Amanah dan Serakah


Antara Amanah dan Serakah

Amanah, dulu dihindari
sebab bumi pun tak mampu menanggungnya
amanah, sekarang dicari-cari
berapa pun beratnya tak peduli
sebab mereka sekarang berkekuatan serakah

Selasa, 19 Februari 2013

Cerita Silat Banjar, Adakah Pengarangmu?


CERITA SILAT BANJAR, ADAKAH PENGARANGMU?

(Agar Pencinta Cersil Lokal Melirik Sastra dan Budaya Banjar)
Oleh : Abdari Muzara Ibnu HM                   



SEBENARNYA saya ragu-ragu untuk membuat tulisan ini, namun ketika saya membuka internet dan coba-coba mencari apa pun mengenai cerita silat (cersil) dengan kata kunci “cerita silat,” hasilnya sungguh membuat saya terkejut. Ternyata cersil yang saya anggap “punah” (karena hampir tidak pernah lagi melihat taman-taman bacaan seperti tahun 80-an yang menyewakan komik dan cerita silat) masih ada, lengkap dengan komunitas pencintanya. Puluhan situs dan blog khusus dibuat untuk mengakomodasi kerinduan para pencinta cersil untuk membaca, bernostalgia dan berbagi pengalaman atau tukar pendapat mengenai cersil. Taman-taman bacaan yang lenyap itu ternyata sudah beralih ke taman bacaan elektronik! Saya sendiri hampir tak punya waktu untuk menjelajah dan melahap berbagai judul cersil jadul (jaman dahulu) yang tersedia. Persis seperti orang kelaparan yang tiba-tiba disuruh masuk ke restoran dan dipersilakan mencicipi segala masakan yang tersedia.
Yang pertama-tama saya cari di situs silat tersebut adalah trilogi legendaris karya Chin Yung, yaitu Legenda Pendekar Rajawali (Kwee Ceng), Kembalinya Pendekar Rajawali (Yo Ko) dan To Liong To (Thio Bu Kie) serta triloginya Arswendo Atmowiloto : Senopati Pamungkas (Upasara Wulung), Tembang Tanah Air dan Suksma Sejati. Sayang triloginya Arswendo Atmowiloto ini ternyata tidak atau belum saya temukan di internet.
Jadi saya berkesimpulan bahwa pencinta dan penggemar cersil masih ada, cuma tempatnya yang berbeda. Kalau dulu orang rela duduk nongkrong berjam-jam di taman bacaan atau sambil tiduran di rumah untuk membaca cersil, sekarang duduk atau balapak di warnet, di rumah (kalau punya komputer dan internet) untuk menikmati cersil tersebut. Dan saya juga yakin bahwa penggemar cersil di Kalsel ini pun pasti ada!
Dalam tulisan ini saya bukan ingin membahas cersil yang – sepengetahuan saya –  umumnya berlatarbelakang tanah Cina (Tionggoan) dan Jawa, tapi ingin manimbai wacana, dapatkah kita – sebagai Urang Banjar – membuat cersil dengan latar belakang budaya dan tanah Banjar, atau secara umum pulau Kalimantan?
Seperti yang saya katakan tadi, tanah Jawa sudah lama membuat cersil dengan latar belakang sejarah, budaya dan tanah Jawa. Lihatlah Bende Mataram (Herman Pratikto), Sejengkal Tanah Sepercik Darah; Alap-Alap Laut Kidul; Bagus Sajiwo (Asmaraman S. Kho Ping Ho) atau yang mungkin paling dikenal adalah serial Wiro Sableng karya Bastian Tito. Entahlah di daerah lain selain Jawa, saya tidak tahu. Dan sepengetahuan saya, selama ini belum ada cersil yang mengambil setting budaya dan tanah Banjar yang ditulis Urang Banua maupun orang luar. Yang ada umumnya cerita berlatar belakang budaya dan tanah Banjar yang berbau mistik atau gaib.
Kalau cerpen dalam istilah Banjarnya sudah ada yaitu kisdap (kisah handap – cerita pendek), maka kalau cersil Banjar saya berangan-angan ada istilah kilat Banjar (kisah silat Banjar – cerita silat Banjar).
Beberapa cerita rakyat karya orang Banjar yang saya anggap dapat “dimodifikasi” menjadi cerita silat yang menarik adalah Mandin Tangkaramin (H. Yustan Aziddin, Cerita Rakyat dari Kalimantan Selatan, Grasindo, Jakarta, 1993), Bambang Siwara (Uda Jarani, dkk, Cerita Rakyat dari Kalimantan Selatan 2, Grasindo, Jakarta, 1997) atau yang saya anggap sudah “berbau” cerita silat adalah Haratai (mohon maaf saya lupa pengarangnya, dimuat secara bersambung di harian Banjarmasin Post sekitar tahun 80-an ke atas, salah satu tokohnya bernama Damang Undas). Dan Hikayat Banjar pun saya anggap dapat “diutak-atik” menjadi cerita silat menjadi beberapa episode, misalnya episode masuknya rombongan Ampu Jatmika ke Tanah Banjar (di sini dapat dibuat konflik pertarungan antara pendatang dan penduduk asli, atau seputar runtuhnya kerajaan Tanjungpura), episode asal usul Patih Ampat sebelum menjadi menteri, tragedi Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga atau sekitar sengketa antara Pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung.
Dan kisah Perang Banjar pun kalau kita jeli dapat dijadikan sebuah cersil, misalnya peristiwa tewasnya Koopman Gillis Michielszoon dan anak buahnya oleh orang Banjar, hengkangnya Belanda dari tanah Banjar tahun 1809 oleh siasat Pangeran Natanegara, atau peristiwa tenggelamnya kapal Onrust di sungai Barito oleh pasukan Tumenggung Surapati. Dari kisah nyata dan heroik ini tentunya kita dapat membuat cersil dengan “menciptakan” seorang tokoh utama fiktif agar jalan ceritanya lebih berkembang, menarik dan penuh konflik.
Sebagai langkah awal, memang tidak mudah membuat cersil Banjar. Saya menganggap orang yang ingin membuat cersil Banjar harus memiliki pengetahuan tentang “dunia persilatan,” harus seorang yang “gila” cersil. Seorang pengarang cersil Banjar harus banyak membaca ‘kitab-kitab’ cersil Mandarin atau Jawa. Karena beberapa istilah dalam cersil Mandarin dan Jawa mau tidak mau harus dibuatkan istilah Banjarnya agar cersil Banjar itu terasa lebih kental “Banjarnya.” Atau menurut saya agar terasa lebih “membumi,” terasa inguh Banjarnya.
Cersil Banjar yang ditulis dapat menggunakan bahasa Banjar seluruhnya atau berbahasa Indonesia, tapi istilah-istilah yang sering digunakan dalam cersil Mandarin diadaptasi menggunakan bahasa Banjar. Di sini dapat saya kemukakan beberapa contoh kosa kata Banjar yang dapat dijadikan istilah untuk mengadaptasi istilah-istilah dalam cersil Mandarin, misalnya pupuhan, dabukan (pukulan), kindaikaji (perguruan), galambang (partai), panunggalan (serikat), kajian (ilmu), wawacaan/wawacan (kitab), hahulu (ketua), hiat (jurus), tuhu (tongkat), dangsanak sapaguruan (saudara seperguruan), pahampul (ilmu meringankan tubuh), panimbarat (ilmu memberatkan tubuh), palancing (ilmu lari cepat), kajigancang (tenaga dalam), buhan hirang (golongan hitam), buhan putih (golongan putih), lumampah kujur (aliran lurus), lumampah pingkur (aliran sesat), jagat pandikar (dunia persilatan), batang baruh (sungai telaga), paguru (guru lelaki), maguru (guru perempuan), gaman (senjata), gaman silip (senjata rahasia), tantang/patala (tingkat), tatapaharu, liritlaga (barisan), paumpatan (anggota), dan sebagainya.
Kalau kita mau jeli, cersil secara umum (Mandarin dan Jawa) sebenarnya tidak melulu bercerita tentang balas dendam, bunuh membunuh, ceceran darah atau eksploitasi perkelahian dan jurus-jurus. Hal-hal yang saya sebutkan itu memang “menu” utama cersil, namun beberapa pengarang cersil Mandarin justeru mampu mengurangi proporsi “menu” tersebut dari keseluruhan cerita, sehingga walaupun terasa “minus” cerita silat, namun karena pengarangnya mampu membuat jalan cerita yang memikat, menarik sehingga membuat orang yang membacanya tidak bosan, malah tertarik untuk menuntaskan membacanya.
Misalnya kisah Pendekar Harum Coh Liu Hiang atau Pendekar Empat Alis Lu Siao Hong ditulis oleh pengarangnya dengan gaya detektif, sehingga sang tokoh diceritakan lebih mengandalkan otak daripada otot (kata orang Jawa menggunakan akal ketimbang okol) dalam menyelesaikan sebuah masalah, sehingga akhir cerita kadang-kadang ditutup bukan dengan kematian tokoh jahatnya – seperti kebanyakan cerita silat – melainkan terungkapnya sebuah kasus atau teka-teki di dunia persilatan. Coba bandingkan dengan Pendekar Sadis karya Asmaraman S. Kho Ping Ho atau Iblis Penyebar Maut karya Stefanus, akan terasa sekali bedanya.
Untuk membuat cersil Banjar menjadi menarik – membuat pencinta cersil tertarik untuk membacanya dan menganggap bagian dari cersil itu sendiri – tergantung bagaimana gaya dan cara pengarangnya dalam bertutur. Mau gaya roman, roman-detektif, laga atau apa lagi dalam istilah sastranya, saya – maaf – kurang tahu, itu terserah! Mau yang sesuai “pakem” (maksud saya sesuai dengan “menu” cersil yang saya sebutkan tadi) atau di luar “pakem,” itu tergantung keinginan sang pengarang. Asal jangan terlalu melenceng sehingga inguh cersilnya justeru hilang sama sekali terutama dalam pemakaian istilah-istilah silat tadi. Terus terang saya justeru merasa janggal kalau ‘tenaga dalam’ diganti dengan istilah ‘energi,’ ‘barisan’ menjadi ‘formasi,’ ‘jurus’ menjadi ‘tehnik,’ ‘perguruan’ menjadi ‘akademi,’ ‘peyakinan’ menjadi ‘meditasi,’ dsb (ini saya temukan dalam komik silat terjemahan).
Hal yang juga perlu diperhatikan dalam membuat cersil Banjar adalah nama tokoh. Penulis cersil Banjar harus mampu membedakan mana nama asli orang Banjar jaman dahulu, mana nama gelaran, mana nama pendatang dan mana nama adaptasi. Misalnya cersil Banjar dengan setting abad ke-11 (masih jaman Tanjungpura) akan berbeda dengan abad ke-17 atau 18. Tentunya – bagi orang yang paham budaya Banjar – akan terasa janggal kalau cersil Banjar setting abad ke-11 ada nama tokohnya Adul, Usai, Usup, Inah atau Ati apalagi Jahrian Noor atau Noor Ifansyah…!
Kalau sudah mampu membuat cersil Banjar, “masalah” selanjutnya adalah publikasi. Saya menganggap kalau langsung menerbitkannya dalam bentuk buku akan terasa berat. Publikasi yang paling baik adalah media cetak, maksud saya surat kabar harian, harian lokal! Jadi…, sekarang masalahnya mau tidak harian lokal di daerah ini mengakomodasi cersil Banjar? Apakah mereka mau menyediakan beberapa kolomnya untuk cersil Banjar? (dimuat secara bersambung tentunya). Kalau tidak ada yang bersedia, maka balaluan ai, selamat tinggal! Tapi kalau ada harian yang mau mempublikasikannya, syukurlah dan tunggu bagaimana tanggapan pembaca, terutama pencinta cersil.
Kalau ada buriniknya, maka harapan saya adalah semoga pengarang-pengarang spesialis cersil Banjar akan bermunculan dan semoga sastra dan budaya Banjar ikut terusik gairahnya, ikut terkena imbasnya (yang positif tentunya). Kalau tidak ada buriniknya, maka saya berkesimpulan bahwa pencinta cersil harus puas dan cukup bernostalgia di internet membaca karya-karya cersil jaman dahulu, tidak ada lagi yang baru, tidak ada lagi kreativitas apalagi inovasi!
Kalau kita memang tidak mampu atau tidak dapat menarik minat orang Banjar untuk memperhatikan sastra dan budaya Banjarnya sendiri, saya beranggapan tugas sastrawan/pengaranglah (selain pemerintah, media cetak, dsb) yang berupaya melakukan trik atau mensiasati bagaimana agar orang tertarik atau melirik. Ingin menarik pencinta cersil, buat cersil Banjar, ingin menarik pencinta cerita mistik, horor, gaib, ya…, buat cerita Banjar berbau mistik, horor dan gaib, ingin menarik pencinta cerita humor, buat cerita humor Banjar atau komedi Banjar, begitu seterusnya.
Selanjutnya, seperti yang saya katakan tadi, permasalahannya mau tidak media cetak di daerah ini mengakomodasi dan memfasilitasi jenis-jenis cerita tersebut? Atau sebenarnya media cetak justeru tidak ada masalah atau tidak pilih-pilih dalam memuat karya sastra? Permasalahannya justeru pada ada tidaknya pengarang yang berminat untuk jenis-jenis cerita tersebut? (cersil Banjar, mistik Banjar atau komedi Banjar).
Selanjutnya memang akan menjadi sebuah perdebatan kalau muncul pertanyaan, apakah cersil Banjar akan memberikan kontribusi yang baik untuk perkembangan sastra dan budaya Banjar? Apakah cersil Banjar tidak akan merusak sastra Banjar itu sendiri? Saya berpendapat, pengarang dapat menyisipkan mengenai sastra, seni dan budaya Banjar dalam cersil Banjar itu seperti adegan balamut, madihin, permainan tradisional Banjar, tari-tarian ataupun kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar, baik ber-setting jaman Hindu-Budha maupun setelah masuknya Islam.
Saya rasa tinggal bagaimana benak setiap orang menyikapinya. Kalau ada yang beranggapan cersil negatif, tidak mendidik, maka – saya – nyerah deh! Tapi kalau ada yang berpandangan – termasuk saya – ini mungkin untuk lebih menarik minat penggemar/pencinta cersil agar lebih memperhatikan sastra dan budaya Banjar – walau secara tidak langsung – maka itulah yang saya harapkan.
Karena saya berangkat dari anggapan bahwa orang membaca sebagian besar untuk hiburan, bukan – kebanyakan – untuk mencari pengetahuan itu sendiri! Jadi membuat cersil Banjar…, mengapa tidak? Atau, ayo…! Kita Bisa!
* * * * *




Abjad A


Kamus Bahasa Banjar

= A =


1a n 1 /aa/ BH sebutan utk huruf a; 2 /a'/ BK sebutan utk huruf a
2a /a'/ n cak BH kak: — pian handak ka mana? kak, engkau mau ke mana?
3a p BH 1 /a?/ kah?: ikam — nang ka sia tuti? kamukah yg ke sini tadi?;
2 /aaa/ naaahh!: — ! ikam sakalinya nang mancuntan naaahh! kamu ternyata yg mencuri; 3 /aaa/ ooo!; oh; wah: — kaya itu sakalinya lah? ooo! begitu ya ternyata?; 4 /aaa/ hei: — sapatu ni kaya ampunku sakalinya hei, sepatu ini spt milikku ternyata; — jangan kaya itulah lawan kuitan? hei, jangan begitu ya dg orangtua?;
5 /a'/ cak perintah agar membuka mulut kpd anak kecil (utk disuapi, diperiksa); 6 /a?/ ya?: mancari ni ngalih —? mencari ini sulit ya ?
aa /a'a/ n cak BH kakak: ding, — handak tulak lah? dik, kakak mau pergi, ya?
aalaman --> alam
aambaan --> amba
aanakan --> anak
aasaan --> asa
aaw /a’aw/ n cak kucing
abadan a terbiasa; kebiasaan; pembawaan: jangan bajujumputlah, jadi — kaina jangan suka mengambil ya, nanti jadi kebiasaan
abah n 1 ayah: abah ikam handak ka mana? ayahmu hendak ke mana?;
2 bapak: abah hubnur handak ka banua bapak gubernur mau ke daerah
— uma ayah ibu
abahnya 1 ayahnya; 2 suami(ku): uu, ~ lihati pang anak kita wahai suami(ku) lihat-lihat dong anak kita
baabah 1 berayah; memiliki ayah;
2 menyebut/memanggil ayah (kpd seseorang): inya ~ lawan urang nitu, jadi pasti ai urang tu abahnya dia menyebut ayah kpd orang itu, jadi pasti orang itu ayahnya
saabah seayah: dangsanak ~ saudara seayah
abang n abang; kakak
abang-abang n ikan air tawar sej karper yg sirip-siripnya berwarna merah
1abat n abad; masa seratus tahun
2abat v 1 tahan; 2 banting; 3 piting
diabat ditahan/kunci shg lawan tdk dpt jalan (mis dlm permainan catur)
abdal --> abdol
abdol a BK afdal; baik: asanya kada — mun babuka kada makan kurma rasanya tdk afdal kalau berbuka tdk makan kurma
abjat n abjad; alfabet
abuh n 1 bengkak; 2 kembung; gelembung (biasanya berair)
maabuh 1 bengkak; membengkak: pas disangat tabuan tu, tangannya langsung ~ ketika diantup tawon itu, tangannya langsung membengkak; 2 mengembung; membusung: pas ditamuakan, awaknya hudah ~ ketika ditemukan, badannya sdh mengembung
1abun n abon; dendeng daging
2abun n tempat alat jahitan/perhiasan dr kayu atau kuningan