Pengantar:
Sejak kecil saya sudah menggemari komik Indonesia, baik silat
maupun superhero seperti serial Mandala Si Siluman Sungai Ular (Man – Mansyur
Daman), serial Indra Bayu (Jan Mintaraga), Serial Cakung (Kelana), serial Jaka
Tuak (Hengky), serial Godam (Wid NS), serial Gundala (Hasmi), serial Gina
(Gerdi WK). Begitu juga dengan cerita silat (cersil) mandarin dan nusantara
yang membuat saya berkeinginan ingin membuat sebuah buku “babon” mengenai kisah
dunia persilatan di Pulau Kalimantan, lengkap dengan perguruan/partai,
tokoh-tokoh, istilah-istilah silat dalam Bahasa Banjar, peristiwa sampai
lokasi-lokasi uniknya.
Ketika remaja, saya sering mencoba membuat komik dengan tokoh
rekaan saya sendiri dan saya coba kirimkan ke media lokal maupun nasional yang ada
pada waktu itu. Ada yang dimuat, dan ada yang tidak. Sayang sekali, sebagai
remaja yang memiliki uang pas-pasan, tidak sempat terpikirkan untuk memotocopy
naskah-naskah komik saya itu sehingga sampai sekarang saya tidak memiliki
kenangan apa-apa tentang karya-karya saya waktu dahulu. Pernah saya mencoba
menjelajahi internet untuk melihat situs-situs media yang pernah memuat karya
saya, ternyata tidak ada. Maklum media pada tahun 80-an sampai 90-an pun belum
memiliki media penyimpanan digital seperti sekarang ini.
Kembali ke laptop, eh, pembahasan. Setelah menyalin kembali
naskah yang pernah saya tulis dengan mesin tik (itu pun waktu itu mencuri-curi
kesempatan di sela waktu luang di sebuah kantor kontraktor tempat saya bekerja)
ke komputer (dan itu pun juga kembali curi-curi kesempatan di kantor tempat
saya bekerja setelah diterima sebagai PNS) akhirnya saya dapat menyelesaikan
naskah fiksi ini dengan judul: Tutur Jagat Pandikar Tanjungnagara.
* * *
Kehidupan terjadi
karena adanya pertemuan dua perbedaan
seperti adanya
pergantian antara siang dan malam
kenyataan - impian, panas dan hujan
kelahiran - kematian, nyala dan padam
Semua yang bertolak
belakang dan bertentangan
menyebabkan
berputarnya roda kehidupan
begitu juga dengan
kebaikan dan kejahatan
dua unsur yang
selalu berlawanan
Silih bergantian
Kejahatan menutupi
kebenaran
kebenaran
mengalahkan kejahatan
kejahatan menguasai
kebenaran
terus berputar,
berpulun
mengiringi roda
kehidupan
Namun pada hakikatnya kebenaran tak mungkin kalah
walau setumpuk kejahatan
selalu melingkupinya
meski untuk
memenangkannya penuh jalan berliku
pengorbanan harta,
air mata, bahkan darah
akhirnya kebenaran
tetap yang nomor satu jua
itulah aturan alam
yang selalu berlaku
Kejahatan ada karena lepasnya kekang nafsu
nafsu laksana nyala
api
yang bahan bakarnya
adalah penurutan
makin
dilonggarkannya kekang penurutan
makin berkobarlah
nyala sang api
membakar hasrat kesenangan semu
Manusia sebenarnya
makhluk paling mulia
bila kekang nafsu
jadi kunci utama
maka manusia
bagaikan Sang Iblis penggoda
bila hidup
diperbudak hawa nafsunya
dan akan lebih
tinggi dari Malaikat
bila hawa nafsunya
mampu diikat
Kejahatan ada untuk menghancurkan kebaikan
dan kebaikan ada untuk mengalahkan kejahatan
Keduanya diciptakan agar manusia dapat menentukan pilihan
bahwa mereka hidup untuk mencari kebahagiaan
dan akan mendapat cobaan
Kejahatan tak mungkin dibasmi
hanya dapat dikurangi
sebab kejahatan selalu mengiringi
kehidupan umat insani
yang hanya dapat diakhiri
seiring dengan berakhirnya kehidupan ini
kehidupan seluruh umat insani
Kejahatan adalah kegelapan
yang dapat mengarahkan insan pada jalan kesesatan
menjerumuskan manusia ke jurang kehancuran
Maka pelita adalah cahaya kebenaran
untuk mengurangi kegelapan
memberi petunjuk dan penuntun
agar manusia melangkah pada jalan sejati
jalan yang lurus dan hakiki
menuju gerbang kebahagiaan abadi
Senin, 1 Maret 1993.
Abdari Muzara Ibnu
HM.
* * *
Semua nama,
tempat dan waktu dalam cerita ini hanya bersifat karangan penulis belaka. Kalau
ada persamaan nama, tempat dan waktu, itu hanya bersifat kebetulan semata guna
memenuhi alur cerita.
Namun demikian,
sebagian nama, tempat, kejadian, peristiwa dan waktu dalam cerita ini ada yang
bersifat nyata, benar-benar terjadi dalam sejarah, akan tetapi tetap tidak
dapat dijadikan dasar atau fakta untuk karangan ilmiah / non fiksi.
* * *
KATA PENGANTAR
TUTUR JAGAT PANDIKAR TANJUNGNAGARA atau Cerita Dunia
Persilatan Kalimantan, di-susun sebagai acuan bagi penulis dalam mengarang
cerita-cerita silat yang berlatar belakang tanah Kalimantan sehingga alur cerita nantinya tidak kelihatan
simpang siur atau janggal karena adanya
nama, tokoh, tempat atau kronologis cerita yang bertentangan antara karangan
yang satu dengan yang lain dari penulis sendiri.
Buku ini diharapkan juga dapat menyamakan persepsi atau pandangan bagi
pengarang cerita-cerita silat lain yang menjadikan tanah Kalimantan sebagai
latar belakang cerita atau bagian cerita mereka terhadap nama-nama tokoh,
tempat, waktu, aliran-aliran silat di Kalimantan dan sebagainya.
Dengan demikian, walaupun pengarangnya berbeda-beda, namun nama-nama
sebagian tokoh, tempat, waktu dan aliran-aliran silat di Kalimantan secara
garis besar dalam cerita tetap sama.
1
Maret 1993
Penulis.
Bagian Satu
ASAL USUL
BAB I
RIWAYAT ILMU SILAT DI TANJUNGNAGARA
Tanjungnagara[1] pada jaman dahulu disebut juga
dengan nama Bajradipa, Manidipa, Hiradipa,[2] Tanjung Pura[3]
dan Barunadipa. Barunadipa artinya Pulau Air karena waktu pertama kali menginjakkan
kakinya ke pulau ini, para penjelajah dari Jambudipa
(India) melihat daerahnya penuh dengan air yaitu terdiri atas sungai dan
rawa-rawa yang begitu luas.
Dari kata Baruna
inilah kemudian oleh lidah penjelajah bangsa Barat disebut Borneo. Sedangkan istilah Nusa Hujung Tanah adalah sebutan penduduk Tanjungnagara untuk daerah bagian tenggara Tanjungnagara, di sebelah barat dan timur kaki Pegunungan Maratus
ke arah selatan pada jaman dahulu.[4]
Keadaan geografis Tanjungnagara terdiri atas daerah pegunungan, dataran rendah dan
rawa-rawa. Di Tanjungnagara tidak ada
gunung berapi. Banyak sungai-sungai besar dan panjang terdapat di Tanjungnagara seperti Sungai Barito,
Kapuas, Mahakam, Kahayan dan Landak. Sungai-sungai tersebut merupakan prasarana
transportasi yang amat penting bagi penduduk Tanjungnagara. Hal ini menyebabkan konsentrasi penduduk Tanjungnagara pada umumnya berada pada
daerah-daerah aliran sungai. Pada daerah pegunungan, sebagian besar tinggal
suku asli yang disebut suku Dayak
yang terbagi lagi dalam beberapa sub suku seperti Lawangan, Ma’anyan, Ot Danum,
dan lain-lain. Orang Melayu yang tinggal di daerah Hujung Tanah menyebut
orang Dayak yang tinggal di
pegunungan dengan sebutan Urang Bukit
yang maksudnya adalah orang gunung.
Tanjungnagara mulai memasuki jaman sejarah sekitar abad ke–4 M dengan ditemukannya
prasasti-prasasti berbentuk Yupa,[5]
ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta di daerah Kutai (propinsi
Kalimatan Timur). Menurut prasasti-prasasti tersebut, pada waktu itu Kerajaan
Kutai[6]
diperintah oleh Mulawarman, putera Aswawarman, cucu Raja Kudunga. Agama yang
dianut raja dan penduduk Kutai adalah agama Hindu. Setelah Kutai, kemudian
disusul oleh kerajaan-kerajaan lain seperti Puni, Tanjung Pura, Sabah, Sedu,
Parama Artha Pura atau Paramarta Pura,[7]
Nagara Dipa, Nagara Daha, Banjar, Sambas, Sukadana, Landak, Kotawaringin dan
sebagainya.
Ratusan tahun yang silam, seperti juga daerah-daerah
lain di Timur Jauh, khususnya di kawasan Nusantara, maka di Tanjungnagara juga berkembang dengan
pesat ilmu beladiri atau silat. Pada mulanya ilmu beladiri itu masih bersifat
sederhana, lugas, tidak mempunyai bentuk baku, seperti penamaan untuk sebuah
rangkaian gerak (jurus), pembakuan rangkaian gerak sebuah jurus, dan
sebagainya. Kegunaan ilmu beladiri pada waktu itu hanya untuk keperluan menjaga
atau membela diri, belum berkembang ke aspek lain seperti untuk menjaga
kesehatan, pertunjukkan seni, budaya atau sebagai suatu mata pencaharian
(penjaga keamanan, tukang pukul atau mendirikan perguruan silat untuk mengajarkan
ilmu silat kepada orang lain).
Masuknya agama Hindu dan Budha ke Tanjungnagara, yang juga diikuti oleh
masuknya kebudayaan lain dari Jambudipa
— asal agama Hindu dan Budha — seperti kesusasteraan, kesenian, tata
pemerintahan dan sebagainya, termasuk ilmu beladiri, maka mulailah dikenal
penamaan gerakan silat, pembakuan gerakan sebuah jurus, tehnik-tehnik latihan
fisik, tehnik-tehnik pernapasan untuk
membangkitkan kajigancang (tenaga
dalam) yang banyak dipengaruhi oleh ilmu
Yoga[8] dan lain-lainnya. Selain itu, juga dikenalnya
bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang berasal dari Jambudipa Selatan, menyebabkan ilmu-ilmu beladiri yang ada di Tanjungnagara mulai “dibukukan” di atas
lembaran-lembaran kulit kayu, hewan, daun, batu, tulang dan sebagainya. Hal ini
membuat ilmu beladiri makin tersebar dan dapat dipelajari oleh semua orang yang
berminat di Tanjungnagara.
Tokoh yang dianggap sebagai pembaharu ilmu silat
asli Tanjungnagara adalah Resi Yamuna
Dwipayana, seorang pendeta Hindu dari Jambudipa.
Tokoh ini juga yang mendirikan Kuwil
Padma (Kuil Teratai) di Kerajaan Kutai. Lalu tokoh kedua yang dianggap
makin memperkaya pembaharuan ilmu silat di Tanjungnagara
adalah Biksu Dharmadhara, pendeta Budha yang juga berasal dari Jambudipa dan pendiri Bihara Bakula (Biara Bunga Tanjung) di
Kerajaan Tanjung Pura.
Kemudian mulai terjadinya hubungan perdagangan dan
kebudayaan dengan Tiyungkuk (Cina)
juga makin menambah khasanah ilmu silat di Tanjungnagara.
Ilmu silat Tiyungkuk banyak
mempengaruhi ilmu silat di Tanjungnagara,
terutama dalam mempelajari Hiat-to hoat (ilmu
aliran darah), Tiam-hiat hoat (ilmu menotok aliran darah), penamaan jurus-jurus
yang berdasarkan pada fenomena alam (seperti gerak-gerik hewan, tumbuhan atau
kejadian alam), pengobatan atau ilmu pertabiban, falsafah-falsafah silat
seperti : bertahan menang menyerang kalah
atau menyerang berarti meraih
kemenangan dan sebagainya. Juga adanya pembentukan partai-partai atau
aliran persilatan merupakan pengaruh dari dunia persilatan Tiyungkuk, seperti lumampah (aliran
atau partai), panunggalan (serikat
atau perkumpulan) maupun kindaikaji (perguruan).
Pada mulanya ilmu beladiri yang telah baku atau
standar itu hanya berkembang dan diajarkan pada murid-murid (biksu) di dua kuil
besar agama Hindu dan Budha yang pertama kalinya berdiri di Tanjungnagara, yaitu Kuwil Padma (agama Hindu) di Kerajaan
Kutai dan Bihara Bakula (agama Budha)
di Kerajaan Bakula Pura atau Tanjung
Pura. Adanya kaum Upasaka[9]
dan kaum Brahmana[10]
yang menerima murid di kalangan masyarakat serta diterimanya murid-murid dari
kalangan masyarakat biasa oleh tokoh-tokoh dari kedua kuil itu, membuat ilmu
beladiri yang telah baku itu mulai tersebar di masyarakat umum dan dipelajari
oleh berbagai lapisan yang berminat terhadap ilmu beladiri.
Maka dari kedua kuil besar itu, yang dianggap
sebagai cikal bakal ilmu beladiri di Tanjungnagara,
lahirlah aliran-aliran silat baru maupun kindaikaji
(perguruan — silat) yang tersebar di seluruh Tanjungnagara bahkan sampai ke Mindanau
(Filipina). Perguruan-perguruan
itu mendidik puluhan murid-muridnya yang mereka persiapkan untuk membela
kebenaran dan keadilan, membuat prestasi, menjaga dan mempertahankan eksistensi
perguruan ataupun mengharumkan nama perguruan mereka bila berpetualang ke dunia
persilatan yang mereka sebut jagat
pandikar, seperti halnya bu lim (rimba
persilatan) atau kang ouw (sungai telaga) di Tiyungkuk atau buanalaga di Jawadipa
(Pulau Jawa).
Selain itu, agama
Hindu dan Budha juga membawa
banyak pengaruh pada kepercayaan penduduk asli Tanjungnagara (suku Dayak)
yang disebut Kaharingan. Banyak
istilah-istilah dalam agama Hindu dan Budha diadaptasi, dijadikan
istilah-istilah dalam kepercayaan Kaharingan,
misalnya sangiang, diwa, batara[11] dan sebagainya. Seorang balian[12]
yang telah menuntut ilmu di Kuwil Padma
selama puluhan tahun, yaitu Balian Sungkanai,
setelah selesai belajar ilmu agama Hindu, ilmu surat dan ilmu silat, kemudian
mendirikan Kuwil Lewo Telu (Kuil Kahyangan) yang
bercirikan kepercayaan Kaharingan.
Kuil ini pada akhirnya mampu menyejajarkan diri dengan Kuwil Padma dan Bihara Bakula
di Tanjungnagara sebagai sebuah
aliran silat tersendiri yang diperhitungkan dan disegani di dunia persilatan.
Apalagi Kuwil
Lewo Telu mampu mempertahankan ciri khas ilmu silat asli Tanjungnagara yang orisinil yaitu banyak
mengandung sifat menyerang, lugas tanpa adanya variasi-variasi atau kembangan
yang ingin menonjolkan suatu seni atau keindahan di dalam gerakan-gerakannya.
Padahal pengaruh ilmu silat dari Jambudipa
dan Tiyungkuk justeru memberikan
tambahan dengan memasukkan unsur seni dan keindahan di dalam
gerakan-gerakannya. Dari kuil inilah banyak dikenal ilmu-ilmu silat yang
dianggap keras dan ganas oleh kaum persilatan di Tanjungnagara yang
merupakan hasil ciptaan tokoh-tokoh Kuwil Lewo Telu maupun hasil inventarisasi
dari ilmu-ilmu silat asli yang ada di Tanjungnagara. Konon banyak
tokoh-tokoh silat yang berasal dari luar Tanjungnagara yang tertarik
untuk belajar ilmu-ilmu silat asli Tanjungnagara di kuil ini. Beberapa
tokoh silat termasyhur mengakui bahwa ilmu-ilmu silat asli Tanjungnagara yang
dianggap keras dan ganas itu ternyata sangat efektif dalam mempersingkat waktu
pertarungan. Karena esensi dari
ilmu-ilmu silat asli Tanjungnagara itu adalah menyerang atau membunuh
maka tentu saja hal terpenting dalam setiap gerakannya adalah bagaimana cara
melumpuhkan lawan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Menjelang akhir abad ke–10 M, di jagat
pandikar Tanjungnagara (dunia persilatan Kalimantan) terdapat tujuh aliran silat besar yang dianggap memegang “dominasi”
jagat pandikar Tanjungnagara yang
dikenal dengan istilah Galambang Pitu (Tujuh
Partai atau Tujuh Aliran). Secara umum ketujuh aliran itu disebut pitu lumampah ganal jagat pandikar
Tanjungnagara (tujuh aliran besar dunia persilatan Kalimantan).
Walaupun masih banyak aliran silat lain di Tanjungnagara, namun — secara tidak
tertulis atau hanya menurut kesepakatan umum — kaum persilatan hanya mengakui
ketujuh aliran itulah yang namanya dianggap sangat berpengaruh dan selalu turut
berperan serta dalam membina perkembangan ilmu silat dan kedamaian di jagat pandikar Tanjungnagara, yaitu :
1. Kuwil Padma
Didirikan oleh Resi Yamuna Dwipayana, seorang pendeta Hindu yang berasal dari Jambudipa pada tahun 634 M di wilayah
Kerajaan Kutai.
2. Bihara Bakula
Didirikan oleh Biksu Dharmadhara, seorang pendeta Budha
yang datang dari Jambudipa pada tahun
712 M di wilayah Kerajaan Tanjung Pura atau
Kerajaan Bakula Pura.
3. Kuwil Lewo Telu
Didirikan oleh Balian
Sungkanai, seorang pimpinan ritual Kaharingan suku Dayak
pada tahun 761 M. Balian ini lama
menimba ilmu di Kuwil Padma dan
dengan kecerdasan yang dimilikinya, dia banyak menciptakan ilmu “cangkokan”
antara ilmu silat asli Tanjungnagara dengan ilmu-ilmu silat yang berasal
dari luar, terutama Jambudipa.
4. Kindaikaji Anggang–Naga (Perguruan Enggang–Naga)
Didirikan oleh Manta Bakalang, seorang murid tak langsung
Bihara Bakula dari kalangan
masyarakat biasa (bukan golongan pendeta) pada tahun 803 M. Namun berkat
kepintaran dan kepandaiannya, dia mampu menciptakan ilmu-ilmu silat baru
sehingga diakui sebagai salah seorang paajar
umang (guru besar) dalam ilmu silat pada waktu itu. Apalagi secara resmi,
sebenarnya Manta Bakalang tidak diakui sebagai murid Bihara Bakula sehingga dengan mendirikan suatu aliran silat
tersendiri, bukan berarti dia mengingkari Bihara
Bakula sebagai “almamater”-nya.
5. Kindaikaji Talabang (Perguruan
Perisai)
Didirikan oleh Panggar Kalang, adik seperguruan dari
Manta Bakalang pada tahun 819 M. Sama seperti halnya Manta Bakalang, dia bukan
murid langsung Bihara Bakula,
melainkan murid Biksu Junjung Dharma yang telah lama mengasingkan diri dari Bihara Bakula sehingga tokoh ini pun
dapat mendirikan aliran silat tersendiri.
6. Kindaikaji Matanandau (Perguruan
Matahari)
Didirikan oleh Mahakam Suta pada tahun
932 M. Tokoh ini mencurahkan seluruh hidupnya untuk mempelajari Kitab Matahari
warisan leluhurnya sehingga berhasil menguasai hampir seluruh isi kitab
tersebut dan mendirikan Kindaikaji
Matanandau.
7. Kindaikaji Paramagiri
(Perguruan Paramagiri)
Didirikan oleh Sidabusu Alahan Rumbai,
seorang pendekar dari Suwarnadipa (pulau
Sumatera) pada tahun 897 M.
Kuwil Padma dan Bihara
Bakula dianggap sebagai cikal bakal aliran-aliran silat yang ada di Tanjungnagara, sehingga tidak mengherankan jika keduanya mempunyai
perbendaharaan ilmu-ilmu silat yang beraneka ragam dan lebih tinggi
tingkatannya dibandingkan dengan perguruan-perguruan lain di Tanjungnagara sehingga disebut orang
“Dwitunggal Dunia Persilatan” atau
dikenal dengan istilah duwa lumampah
umang (dua aliran utama) atau
disebut juga tihang umang jagat pandikar (tiang utama dunia
persilatan).
Sebenarnya
masih terdapat sebuah aliran silat besar di Tanjungnagara, yaitu Palampahan
Gunung Awang Pitu (Pertapaan Gunung
Awang Pitu). Namun karena aliran ini bersikap netral, tidak ikut berkecimpung
di dalam urusan dunia persilatan, di mana mereka lebih mengutamakan bertapa,
sehingga kaum persilatan tidak merasa perlu memasukkan dalam
“daftar” aliran besar dunia persilatan di Tanjungnagara. Aliran ini melarang keras murid-muridnya ikut
berkecimpung di dalam dunia persilatan. Hal ini untuk menjaga reputasi dan
kepercayaan yang diberikan oleh golongan putih dan golongan hitam di Tanjungnagara yang mengangkat aliran Palampahan Gunung Awang Pitu sebagai pahalat
jagat pandikar (juru penengah dunia persilatan) bila terjadi pertikaian
antara kedua golongan yang sepanjang masa selalu bertolak belakang itu.
Di dalam jagat
pandikar Tanjungnagara, bila diperinci terdapat empat golongan besar
masyarakatnya, yaitu buhan putih (golongan
putih), buhan hirang (golongan hitam),
buhan panangah (golongan netral) dan buhan
paalihan (golongan yang bermuka dua) yaitu mereka yang berpihak kepada
golongan yang menguntungkan dirinya. Kaum persilatan sering menjuluki golongan
ini dengan istilah buhan timpakul (golongan
Ikan Tembakul[13]). Walaupun terbagi kepada
empat golongan, namun antara buhan putih dan buhan
hirang inilah yang sering terjadi
pertikaian.
Apabila golongan putih merasa terancam eksistensinya
oleh golongan hitam yang — biasanya — ingin
menguasai dunia persilatan, maka mereka akan mengangkat seorang pemimpin
kaum pendekar yang disebut Hahulu
Pandikar (Ketua Persilatan) melalui kesepakatan bersama atau bila tak ada
kata sepakat, dipilih melalui adu silat yang disebut bahaharatan.[14]
Pemenangnya akan diangkat sebagai Hahulu
Pandikar untuk beberapa waktu lamanya, tergantung kesepakatan golongan
putih, berapa lama seorang Hahulu
Pandikar itu diperlukan. Hahulu
Pandikar memiliki tanda pengenal yang disebut Lancana Kancana Anggang–Naga (Medali Emas Enggang–Naga) dan senjata Mandau[15]
yang bernama Mandau Naga Kancana Pancar Nila Pangadap Jagat (Mandau Naga Emas Sinar Biru Pengelam Dunia) yang merupakan salah satu dari tiga
belas senjata paling ampuh di jagat
pandikar Tanjungnagara. Bila jabatan Hahulu
Pandikar kosong, maka kedua pusaka itu (medali dan mandau) disimpan di Palampahan Gunung Awang Pitu.
Hahulu
Pandikar dibantu oleh empat orang Hahulu
Cakang (Ketua Cabang) yaitu cabang
paksina (utara), matanandau timbul (timur), daksina (selatan) dan matanandau pajah (barat). Mereka ini
juga memiliki tanda pengenal yang disebut Kukut Anggang Kancana (Cakar Enggang
Emas). Tanda pengenal Kukut Anggang
Kancana ini konon terbuat dari baja putih yang dilapisi dengan emas,
sehingga dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh. Pada
masing-masing tanda pengenal itu tertulis nama cabangnya.
Seperti halnya golongan putih, golongan hitam pun
untuk mempertahankan eksistensinya di dunia persilatan mengangkat seorang
pemimpin yang mereka sebut Pamuka Ganal (Pemimpin
Besar) yang dipilih lewat bahaharatan. Pamuka Ganal ini memiliki tanda pengenal sekaligus dapat dijadikan
senjata yang amat berbahaya yang disebut
Tangkurak Raha (Tengkorak Darah). Pamuka
Ganal ini juga dibantu oleh empat Hahulu
Cakang, yaitu cabang utara, timur, selatan dan barat. Para Hahulu Cakang juga memiliki tanda
pengenal yang berwujud sepasang tangan dan kaki manusia.
Salah satu perisitiwa pertikaian yang paling besar
antara golongan putih dan hitam adalah peristiwa perebutan Kindaikaji Rakun (Perguruan Awan) antara dua buah keluarga
keturunan pendekar besar yang bernama Busu[16] Tangkal Jati Habulan yang melibatkan
banyak partai di Tanjungnagara. Busu Tangkal Jati Habulan merupakan
pendiri Kindaikaji Rakun di mana
perguruan ini ketika masih dipimpinnya mampu mengalahkan pamor “Tujuh Partai”
yang ada di Tanjungnagara. Ketika
diadakan pertemuan perguruan sekawasan Nusantara, Kindaikaji Rakun inilah yang mewakili Tanjungnagara karena keadaan perguruan lain pada waktu itu dalam
keadaan turun pamornya sehingga para ketua Tujuh Partai sepakat menunjuk Busu Tangkal Jati Habulan sebagai utusan
tokoh dan perguruan dari Tanjungnagara.
Ketika Busu Tangkal
Jati Habulan meninggal dunia, ketua Kindaikaji
Rakun digantikan oleh Busu Alang
Bantar Jati Habulan. Busu Alang
Bantar Jati Habulan memiliki empat orang putera. Ketika putera bungsunya Busu Mamang Sidi Jati Habulan ditunjuk
sebagai pewaris ketua Kindaikaji Rakun —
karena dianggap memiliki ilmu silat paling tinggi di antara keempat puteranya, maka
putera sulung Busu Alang Bantar Jati
Habulan yang bernama Busu Mandawar
Jati Habulan terhasut putera-puteranya untuk merebut kursi ketua. Lewat intrik
yang keji, Busu Mamang Sidi Jati
Habulan diracuni sehingga jatuh sakit sampai kemudian meninggal dunia dan untuk
sementara ketua Kindaikaji Rakun
dipegang oleh Busu Mandawar Jati
Habulan.
Setelah beberapa tahun kemudian, keturunan Busu Mamang Sidi Jati Habulan yang
merasa berhak atas Kindaikaji Rakun
menuntut kepada keluarga Busu Mandawar
Jati Habulan untuk menyerahkan perguruan itu. Namun karena ketua Kindaikaji Rakun kemudian diambil alih
oleh putera Busu Mandawar Jati
Habulan yang bernama Ampat Kalang Jati Habulan, maka persoalan makin rumit.
Putera Busu Mandawar Jati Habulan itu
juga merasa berhak atas Kindaikaji Rakun.
Busu Mandawar tidak dapat berkutik
terhadap ulah putera-puteranya, walaupun dia sendiri pada akhirnya menyesali
keserakahannya terhadap adiknya, mendiang Busu
Mamang Sidi Jati Habulan.
Karena masing-masing keturunan kedua busu itu merasa berhak atas Kindaikaji Rakun, maka siapa yang paling berhak atas perguruan itu
akhirnya ditentukan dengan jalan perang.
Puluhan partai, perguruan, perserikatan
dan tokoh di jagat pandikar
Tanjungnagara terlibat dalam perang dua keluarga besar itu yang
masing-masing mendukung keluarga Busu Mamang
Sidi Jati Habulan dan keluarga Busu Mandawar
Jati Habulan, di mana golongan putih lebih condong mendukung keluarga Busu Mamang Sidi Jati Habulan.
Perebutan Kindaikaji
Rakun, digambarkan bukan lagi perang antara keturunan Busu Mamang Sidi Jati Habulan dengan keturunan Busu Mandawar Jati Habulan, melainkan sudah dimuati oleh unsur lain
seperti intrik politik oleh kerajaan yang berkuasa pada waktu itu, keinginan
untuk mengharumkan nama di jagat
pandikar Tanjungnagara, balas
dendam, motiv ingin menguasai jagat Pandikar Tanjungnagara dengan cara
menghancurkan seluruh keturunan Busu Tangkal Jati Habulan, walaupun unsur
dominan yang terlihat adalah perang antara golongan putih dan golongan hitam.
Di dunia persilatan, keturunan Busu Mandawar Jati Habulan dikenal sering melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aturan dunia persilatan sehingga
dengan berkuasanya keturunan Busu Mandawar Jati Habulan di Kindaikaji Rakun — yang merupakan partai terkuat pada masa itu —
membuat buhan hirang mendapat
pelindung yang kuat untuk melakukan aksi kejahatannya di dunia persilatan. Maka
pertikaian keturunan Busu Tangkal Jati Habulan dijadikan kesempatan
oleh buhan hirang dan buhan putih untuk saling menumpas musuh
mereka. Peristiwa ini merupakan salah satu tragedi besar di jagat pandikar Tanjungnagara karena
memakan banyak korban.
BAB II
TANDA PENGENAL DUA GOLONGAN
DI JAGAT PANDIKAR TANJUNGNAGARA
1. LANCANA KANCANA ANGGANG–NAGA
Merupakan tanda pengenal Hahulu Pandikar golongan putih di jagat pandikar Tanjungnagara.
Lancana
Kancana Anggang–Naga berbentuk bulat pipih dengan diameter sekitar 6 cm.
Pada bagian tengahnya terdapat bundaran berbentuk bola yang dapat dibuka. Pada bidang bundaran bagian
muka terdapat gambar seekor burung enggang dan pada bidang bundaran belakang
bergambar seekor naga. Medali ini terbuat dari emas murni.
Di dalam bundaran medali itu terdapat cincin emas
bermata intan berujung runcing. Bila dialirkan tenaga dalam khusus ke ujung
intan tersebut akan terpancar sinar merah yang amat kecil yang panjang
pancarannya dapat diatur sampai sejauh sepuluh meteran dan mampu menembus atau
memotong benda-benda keras seperti besi atau baja. Selain itu sinar tersebut
juga dapat memancarkan cahaya yang amat terang dalam radius empat meter
sehingga dapat dipakai sebagai penerangan waktu gelap.
Pada kedua sisi lempengan medali terdapat ukiran
huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno yang amat kecil berisi ajaran Kajigancang Anggang–Naga Sabuku (Ilmu
tenaga dalam Enggang–Naga Bersatu), suatu ajaran tenaga dalam yang memadukan
unsur panas dan dingin. Menurut cerita, ilmu ini diciptakan oleh seorang tokoh
sakti di Tanjungnagara yang bernama Datu[17]
Pamukah
Batang, seorang pandai besi yang berilmu silat tinggi. Ilmu tenaga dalam inilah
yang mampu memancarkan sinar merah lewat
cincin intan yang disebut di
atas. Karena ajarannya yang terlalu rumit, selama ratusan tahun hanya ada
beberapa orang yang berhasil menguasai ilmu tersebut.
2. TANGKURAK RAHA
Tangkurak
Raha merupakan tanda pengenal Pamuka Ganal dunia persilatan golongan hitam di Tanjungnagara. Tangkurak Raha ini terbuat dari tengkorak bayi lelaki yang berumur
40 hari yang lahir pada saat gerhana bulan. Konon tengkorak bayi tersebut telah
direndam dalam ramuan 41 racun dalam darah tiga belas perawan — yang lahir pada
bulan purnama bulan tujuh — selama 12 purnama, sehingga selain racunnya amat
dahsyat, kekerasannya setara dengan besi.
Tangkurak
Raha ini dibuat oleh Datu
Jahung yang juga pembuat Golok Iblis yang terkenal itu.
Keistimewaan Tangkurak
Raha ini mampu menyedot/memunahkan racun. Pasalnya Tangkurak Raha ini hanya meracuni tubuh orang yang sehat, sedangkan
terhadap tubuh orang yang keracunan, Tangkurak
Raha ini justeru menyedot racun yang bersarang di dalam tubuh orang
tersebut. Sedangkan tanda pengenal Hahulu
Cakang berupa kerangka pergelangan tangan kanan dan kiri untuk cabang
selatan dan utara, serta pergelangan
kaki kanan dan kiri untuk cabang barat
dan timur. Seperti Tangkurak Raha,
tanda pengenal Hahulu Cakang ini juga
memiliki racun dan keampuhan yang sangat mematikan, walaupun tidak sehebat Tangkurak Raha.
BAB III
TIGA BELAS SENJATA UTAMA
DI JAGAT PANDIKAR TANJUNGNAGARA
1. MANDAU KANCANA
ANGGANG–NAGA SANGGA-BUANA
Mandau
Kancana Anggang–Naga Sanggabuana (Mandau Emas Enggang–Naga
Pelindung Dunia) oleh kaum persilatan disebut juga Pedang Cakrawala Gaib,
karena bila senjata ini dicabut, konon alam akan terang benderang dan mengelam
selama beberapa kejap seperti halnya kilat mengerjap diwaktu malam hari. Mandau
ini memancarkan sinar dwiwarna. Bagian atas memancarkan sinar merah dan bagian
bawah atau matanya memancarkan sinar biru. Ketajaman mandau ini mampu memotong
intan dan desir angin kibasannya dapat memutuskan benda-benda di sekitarnya.
Mandau ini terbuat dari batu meteor. Oleh seorang Pawasian (Pandai Besi) sakti yang bernama Datu Palamas Wasi, batu meteor itu dibuat senjata berupa tiga buah
mandau, yaitu Mandau Kancana Anggang–Naga
Sanggabuana, Mandau Anggang Kancana
Pancar Habang Hindau Jagat (Mandau Enggang Emas Sinar Merah Penerang Dunia)
dan Mandau Naga Kancana Pancar Nila Pangadap Jagat.
Keistimewaan Mandau
Kancana Anggang–Naga Sanggabuana adalah tidak dapat memotong benda bernyawa
, termasuk hewan. Selain itu
keampuhannya juga tergantung pada rasa percaya diri dan keyakinan pemegangnya.
Karena keampuhannya yang bergantung pada pemegangnya inilah, kaum persilatan
tidak terlalu berhasrat untuk memperebutkannya.
Apalagi bagi golongan hitam, karena mereka sadar,
orang yang dapat membangkitkan kesaktian mandau itu hanyalah orang yang berhati
lurus, maka mereka tidak berminat untuk memiliki pusaka tersebut. Mandau ini
merupakan pusaka utama kerajaan Tanjung Pura.
2. MANDAU ANGGANG KANCANA
PANCAR HABANG HINDAU JAGAT
Mandau
Anggang Kancana Pancar Habang Hindau Jagat
merupakan mandau jantan atau pasangan dari Mandau
Naga Kancana (Mandau Naga Emas). Disebut juga Mandau Anggang Kancana (Mandau
Enggang Emas). Mandau ini memancarkan hawa panas dan bila dicabut maka
langit akan terang benderang dalam beberapa kejap.
Mandau ini merupakan salah satu pusaka milik Bihara Bakula yang dihadiahkan oleh Datu Palamas Wasi kepada salah seorang
murid kuil tersebut ketika menghadapi gerombolan penjahat di daerah Sungai
Amandit.[18]
3. MANDAU NAGA KANCANA
PANCAR NILA PANGADAP JAGAT
Mandau
Naga Kancana Pancar Nila Pangadap Jagat
merupakan mandau betina yang memancarkan hawa dingin. Bila mandau ini dicabut,
langit akan mengelam dalam beberapa kejap. Mandau
Naga Kancana diidentikkan dengan
milik Hahulu Pandikar golongan putih,
maka bila tidak ada Hahulu
Pandikar, mandau ini disimpan di Palampahan
Gunung Awang Pitu.
4. PEDANG SINAR PELANGI
Pedang ini memancarkan sinar pelangi yang cemerlang.
Ketajamannya dapat memotong baja seperti memotong batang pisang. Konon pusaka
ini berasal dari Tiyungkuk dan dibawa
ke Tanjungnagara oleh Sangkan Awang
(Singkoan Wan), seorang pendekar dari Tiyungkuk
yang mengungsi bersama isteri dan putera tunggalnya, Sangkan Liyung (Singkoan
Liong) karena urusan dendam turun temurun di negerinya.
Sangkan Liyung menikah dengan gadis pribumi dan
menjadi cikal bakal keluarga Sangkan yang memiliki Pedang Sinar Pelangi.
5. GOLOK IBLIS
Disebut juga Golok Selaksa Nyawa, Golok Maut
Penghisap Darah, Golok Penyesat Sukma, Golok Sukma Penasaran, Golok Bernyawa,
Golok Kegelapan, Golok Kejahatan, Golok Angkara Murka karena perbawanya yang
luar biasa mengerikan. Golok ini memiliki ketajaman yang setara dengan pusaka
Pedang Sinar Pelangi. Warnanya merah darah, bersinar redup, berbau amis yang
sangat menyengat dan mengandung racun mematikan.
Golok ini mampu
menghisap darah dan tenaga dalam orang yang terkena, lalu masuk ke tubuh
pemegangnya. Kalau pemegangnya tidak memiliki tenaga batin yang kuat, dapat
terpengaruh untuk selalu melakukan pembunuhan. Konon golok ini dibuat oleh
seorang penjahat besar bernama Datu Jahung
dari ribuan miligram besi yang terkandung dalam tubuh manusia, sehingga untuk
membuat sebuah golok tersebut dia telah membunuh ratusan manusia untuk diambil
saripati besinya.
Golok ini diidentikkan dengan milik golongan hitam
sebagai lambang kejahatan, sehingga orang yang berhasil memiliki golok ini,
walaupun tidak memiliki Tangkurak Raha
akan dianggap Pamuka Ganal bagi
golongan hitam yang pantas dipatuhi.
Sepanjang sejarah jagat pandikar Tanjungnagara, golok ini selalu berpindah tangan
antara satu tokoh ke tokoh lain, menjadi rebutan golongan hitam maupun putih
dengan maksud yang berbeda-beda terhadap golok tersebut.
6. PEDANG API NERAKA
Pedang ini memancarkan sinar merah marong seperti
bara yang pancaran panasnya mencapai radius sepuluh meter. Ketajaman dan
kekuatannya dapat disetarakan dengan pusaka-pusaka yang telah disebutkan di
atas. Selama beberapa ratus tahun hanya beberapa orang tokoh yang mampu membawa
dan memegang pedang ini, karena untuk memegangnya diperlukan tenaga dalam dan
tenaga batin yang kuat.
Pedang ini disimpan dalam kolam kecil di Kuwil Padma yang airnya selalu mendidih
akibat panas yang dipancarkan oleh pedang itu.
7. CAKRA WIJAYA SURYA
Disebut juga Cakra Halilintar.
Merupakan pusaka peninggalan pendiri Kuwil Padma. Sinarnya kuning menyilaukan
dan memancarkan hawa panas yang luar biasa. Cakra Wijaya Surya ini dapat
dikendalikan dengan tenaga pikiran sampai sejauh radius dua kilometer.
8. MANDAU TELAGA BEKU
Disebut juga Mandau Halimun (Mandau Kabut) atau Mandau
Saun Banyubaku (Mandau Kabut Es).
Mandau ini memancarkan sinar biru redup yang
mengeluarkan hawa dingin luar biasa sampai radius lima meteran. Saking
dinginnya, konon kobaran api langsung padam bila didekatkan atau dilemparkan ke dalamnya.
Mandau ini disimpan dalam sebuah goa di kolam kecil di Kindaikajii Talabang. Goa dan kolam
tersebut menjadi beku akibat pengaruh mandau ini.
9. CAMBUK NAGA MERAH
Disebut juga Pacat
Naga Habang. Cambuk ini memancarkan sinar merah yang mengeluarkan hawa
panas dengan panjang sekitar lima meter. Selain lemas dan kuat, sabetannya juga
dapat memutuskan sebatang pohon ulin yang berdiameter satu meter bila dibarengi
dengan pengerahan tenaga dalam.
Cambuk ini pertama kali dimiliki oleh seorang
pendekar yang bernama Busu Palang
yang mendapat julukan si Cambuk Naga. Kemudian pusaka itu diturunkan kepada
anaknya dan seterusnya murid ataupun keturunan dari murid-muridnya.
10. GOLOK MATAHARI
Parang
Matanandau (Golok Matahari) ini memiliki ukuran dan
bobot yang lebih besar dari golok umumnya. Panjang golok ini hampir satu meter.
Memancarkan sinar perak yang panas dan me-
nyilaukan. Pada bagian atas golok ini terdapat lubang-lubang kecil sehingga kalau golok ini diayunkan menimbulkan suara dengungan yang nyaring menyakitkan telinga. Merupakan salah satu pusaka Kindaikaji Matanandau.
nyilaukan. Pada bagian atas golok ini terdapat lubang-lubang kecil sehingga kalau golok ini diayunkan menimbulkan suara dengungan yang nyaring menyakitkan telinga. Merupakan salah satu pusaka Kindaikaji Matanandau.
11. TOMBAK PENEMBUS REMBULAN
Merupakan salah satu pusaka milik Kindaikaji Paramagiri yang keampuhannya — konon — dapat menembus
besi setebal satu jengkal. Gagangnya dapat dipendekkan sampai sepanjang 50 cm
sehingga mudah diselipkan di pinggang pemakainya.
12. MANDAU BATANG GARING
Merupakan salah satu pusaka milik Kuwil Lewo Telu. Kehebatannya, selain amat tajam, juga sarung dan gagangnya
yang terbuat dari kayu Batang Garing (Pohon Kehidupan) mampu menawarkan
beberapa jenis racun dan penyakit. Selain disebut Mandau Batang Garing, para murid Kuwil Lewo Telu juga menyebutnya
Mandau Lewo Telu (Mandau
Kahyangan).
13. PEDANG GEMULUNG
Pariwas
Pulun (Pedang Gemulung) disebut juga Pedang Besi Kuning,
Pedang Sinar Emas atau Pedang Sambar Nyawa. Terbuat dari wasi kuning[19] sehingga memiliki kekuatan gaib untuk
menolak serangan seperti hujan senjata (pemegangnya selalu terhindar dari
serangan senjata lawan dan memiliki kekuatan).
Pedang Gemulung ini sangat tajam dan tipis, sehingga
saking tipisnya dapat digulung. Dan untuk mengeraskan pedang ini diperlukan
penyaluran tenaga dalam ke batang pedang itu. Pedang Gemulung merupakan salah
satu pusaka Kindaikaji Anggang–Naga.
BAB IV
RIWAYAT BERDIRINYA
ALIRAN–ALIRAN SILAT DI TANJUNGNAGARA
Pada
pertengahan abad ke-7 M, di wilayah Kerajaan Kutai didirikan sebuah kuil yang
bernama Kuwil Padma yang
merupakan kuil agama Hindu. Di kemudian
hari, kuil ini akhirnya menjadi kuil agama Hindu terbesar di Tanjungnagara. Kuil tersebut didirikan oleh seorang pendeta Hindu
dari Jambudipa yang bernama Resi
Yamuna Dwipayana.
Selain mengajarkan dan menyebarkan agama Hindu, kuil
ini pun mengajarkan ilmu beladiri atau silat kepada murid-muridnya (para resi)
dengan tujuan untuk menjaga kesehatan, menjaga diri maupun membela kaum yang
lemah.
Pada masa itu hukum “rimba” memang masih berlaku
walaupun kerajaan sudah memiliki peraturan ketatanegaraan. Namun karena sifat
masyarakatnya yang masih memiliki “naluri primitif”, dimana setiap permasalahan
lebih banyak diselesaikan dengan kekerasan sehingga berlaku ketentuan, siapa
yang kuat dialah yang benar! Akibatnya banyak masyarakat yang belajar ilmu
silat untuk menjaga diri, harta dan keluarganya. Namun dampak lainnya adalah
banyaknya kemampuan beladiri itu yang disalahgunakan untuk melakukan kejahatan.
Maka untuk melindungi masyarakat itulah, Kuwil Padma mengajarkan ilmu silat
kepada murid-muridnya, baik yang dididik sebagai resi atau pertapa maupun
sebagai seorang pendekar.
Pada masa kepemimpinan Resi Wiratadharma, datanglah Balian Sungkanai, seorang tokoh suku Dayak di Tanjungnagara untuk belajar agama Hindu di Kuwil Padma. Usia Balian Sungkanai
pada waktu itu sekitar 40 tahun. Setelah belajar hampir 20 tahun, Balian Sungkanai kembali ke daerahnya
dan mendirikan Kuwil Lewo Telu.
Kuwil
Lewo Telu, selain sebagai pusat tradisi kepercayaan Kaharingan di Tanjungnagara, juga mengajarkan ilmu silat murni dari Tanjungnagara, walaupun sebagian
mendapat pembaharuan di sana-sini, namun sifat khasnya, yaitu kekerasan dan
kelugasan tanpa adanya seni keindahan masih banyak terlihat. Dalam permainan
senjata, maka Kuwil Lewo Telu dikenal
dengan ilmu mandaunya. Ilmu Mandau Kuwil
Lewo Telu diakui orang sebagai ilmu mandau paling hebat di Tanjungnagara, baik karena kecepatannya
maupun keganasannya.
Selain itu, kuil ini pun dikenal memiliki ilmu-ilmu
yang berbau gaib. Salah satu ilmu mandau Kuwil
Lewo Telu yang amat ditakuti orang adalah Kaji Mandau Silip Parang Maya (Ilmu Mandau Gaib Golok Semu). Konon
bila orang yang menguasai ilmu ini melancarkan serangannya, lawan jarang sekali
mampu mengantisipasi serangannya, sehingga tahu-tahu roboh dengan dada berjalur
biru tanpa ada luka.
Pada akhir abad ke–7 M, datanglah dua orang guru
besar agama Budha dari Jambudipa ke
Nusantara, yaitu Biksu Dharmapala dan Biksu Dharmadhara. Biksu Dharmapala
menetap di Kerajaan Sriwijaya dan dengan bantuan Raja Sriwijaya, dia mendirikan
pusat agama Budha di sana.
Sedangkan Biksu Dharmadhara menyeberang ke Tanjungnagara. Pada mulanya dia menetap
di Kerajaan Kutai, namun karena perkembangan agama Hindu di sana demikian
pesat, dia akhirnya pergi ke selatan, ke Kerajaan Tanjung Pura yang merupakan
sebuah kerajaan yang beragama Budha. Dengan bantuan Raja Tanjung Pura, dia
mendirikan Bihara Bakula.
Dalam waktu relatif singkat, Bihara Bakula tumbuh menjadi pusat agama Budha di Tanjungnagara seperti halnya Kutai yang
menjadi pusat agama Hindu di Tanjungnagara
atau Sriwijaya yang menjadi pusat agama Budha di Suwarnadipa.
Pada masa kepemimpinan Biksu Dharmajana (749–775 M),
terdapat dua orang tokoh dari Bihara
Bakula yang telah mengasingkan diri dan menyepi di tempat lain, yaitu Biksu
Singgang dan Biksu Giting. Pada masa mudanya kedua biksu itu dikenal sebagai
biksu yang tidak mau terikat dengan peraturan Bihara Bakula sehingga
memilih keluar dari biara.
Mereka mengembara di dunia persilatan dengan membawa
perangai masing-masing yang sebenarnya tidak sesuai bagi seorang biksu. Akan
tetapi karena sepak terjang mereka di dunia persilatan tidak menyalahi jalan kebenaran,
pihak Bihara Bakula tidak ambil peduli lagi dengan perbuatan mereka,
apalagi ilmu kedua biksu itu sangat tinggi, yang hanya mampu ditandingi oleh
tokoh-tokoh teras Bihara Bakula, semakin membuat mereka disegani Bihara
Bakula.
Kedua tokoh itu mendidik masing-masing seorang murid
dari kalangan masyarakat biasa untuk diajari ilmu silat. Biksu Singgang
bermurid Manta Bakalang (753–825 M) dan Biksu Giting bermurid Panggar Kalang
(759–845 M).
Manta Bakalang berhasil mempelajari Pukulan Puncak
Himalaya yang bersifat dingin dan Pukulan Setitik Neraka yang bersifat panas.
Setelah memperoleh banyak pengalaman di dunia persilatan, dari kedua ilmu yang
dikuasainya itu, dia menciptakan Ilmu Tenaga Dalam Enggang–Naga dan Jurus
Tangan Kosong Enggang–Naga.
Setelah merasa cukup lama berkecimpung di dunia
persilatan, Busu Manta Bakalang
mendirikan Kindaikaji Anggang–Naga di
Gunung Banyutawar yang terletak di kawasan Pegunungan Maratus di Tanjungnagara. Selama masa
kepemimpinannya, dia lebih banyak menyepi untuk menciptakan ilmu-ilmu baru
sehingga urusan perguruan lebih banyak ditangani oleh wakilnya yang bernama Busu Madang Alai. Hanya sewaktu-waktu
dia keluar dari tempat penyepiannya untuk melihat keadaan perguruannya.
Sementara itu, Panggar Kalang yang lebih belakangan
selesai menuntut ilmu dari gurunya, berhasil menguasai Ilmu Tenaga Dalam
Penakluk Iblis dan Jurus Mandau Gerbang Nirwana. Dalam waktu
singkat, Panggar Kalang menjadi salah seorang jago nomor satu di wilayah barat Tanjungnagara. Ketika mendengar bahwa
Manta Bakalang yang masih terhitung kakak seperguruannya telah mendirikan
sebuah perguruan di wilayah timur, dia pun akhirnya mendirikan sebuah perguruan
di Gunung Niut, wilayah Tanjungnagara
bagian barat. Perguruannya itu diberi nama Kindaikaji
Talabang.
Murid-murid Kindaikaji
Talabang diajarkan ilmu ciptaan Busu Panggar Kalang, yaitu Ilmu Tenaga Dalam Panggar Kalang dan Jurus Mandau Talabang yang merupakan
sempalan dari Ilmu Tenaga Dalam Penakluk Iblis dan Jurus Mandau Gerbang
Nirwana.
Pada masa kepemimpinan Biksu Gurudharma (868–901 M),
Bihara Bakula pernah berhutang budi
pada seorang pendekar dari Kerajaan Kutai bernama Busu Bantang. Karena merasa berhutang budi itulah, Biksu
Guru-dharma tidak mampu menolak ketika Busu
Bantang bermaksud mengambil Kitab Matahari. Menurut asal usulnya, Busu Bantang memang masih ada hak
terhadap Kitab Matahari karena kitab itu konon adalah milik kakek-buyutnya.
Namun dalam suatu peristiwa yang tidak jelas, kitab tersebut berada di Bihara Bakula.
Biksu Gurudharma mengajukan jalan keluarnya, yaitu
dengan mengajarkan isi Kitab Matahari kepada putra Busu Bantang, yaitu Lanjang dan Mahakam Suta. Busu Bantang menerima usul itu karena dia beranggapan bahwa tanpa
mendapat bimbingan orang pandai, belum tentu kedua puteranya dapat menguasai
ilmu-ilmu yang terdapat di dalam Kitab Matahari. Kedua putranya diangkat
sebagai murid Bihara Bakula dan
diajarkan ilmu-ilmu yang terkandung dalam Kitab Matahari. Dengan bimbingan
Biksu Palang Dharma, adik seperguruan Biksu Gurudharma, Lanjang dan Mahakam
Suta mempelajari Kitab Matahari dengan sungguh-sungguh. Apalagi Biksu Palang
Dharma juga benar-benar serius mengajar dan melatih mereka.
Biksu Palang Dharma merupakan seorang tokoh Bihara
Bakula yang khusus mempelajari Kaji Pitung Walas Narka (Ilmu Tujuh
Belas Neraka), salah satu ilmu yang jarang dipelajari oleh murid Bihara
Bakula. Dengan ditunjuknya dia sebagai pembimbing Lanjang dan Mahakam Suta,
maka secara tidak langsung biksu itu dapat membandingkan kelebihan dan
kekurangan Kaji Pitung Walas Narka dengan ilmu-ilmu yang terdapat dalam
Kitab Matahari yang sama-sama mengajarkan kekuatan tenaga panas.
Selama kurang
lebih lima belas tahun, Mahakam Suta-lah yang mampu menguasai hampir seluruh
isi Kitab Matahari. Dengan berbekal Ilmu-Ilmu Matahari, Mahakam Suta menjadi
salah seorang pendekar paling tangguh di Tanjungnagara
pada masanya. Atas anjuran kakaknya, Lanjang, dia mendirikan Kindaikaji Matanandau di Gunung Karakan,
Tanjungnagara bagian timur.
Tersebutlah di Suwarnadipa
terdapat sebuah perguruan besar yang bernama Perguruan Gunung Singgalang.
Selama puluhan tahun perguruan ini mampu menjadi salah satu perguruan paling
kuat di Suwarnadipa. Ketika akan
terjadi pergantian ketua yang kesekian kalinya, terdapat dua calon kuat yang
dianggap mampu menduduki kursi ketua Perguruan Gunung Singgalang, yaitu
Sidabusu Alahan Rumbai atau Datuk Nan Panjuang dan Sidabusu Bungo Puti.
Melihat ambisi adik seperguruannya yang begitu kuat
untuk menduduki kursi ketua, Sidabusu Alahan Rumbai akhirnya mengalah. Dia
tidak ingin perguruan yang telah dirintis dan dipertahankan dengan susah payah
oleh para pendahulunya agar tetap eksis di dunia persilatan Suwarnadipa hancur hanya gara-gara perebutan kursi ketua. Untuk
mententeramkan dan mengobati kekecewaan hatinya, dia pergi dari perguruan dan
menyeberang ke Tanjungnagara.
Belasan tahun dia berpetualang dan berkecimpung di jagat pandikar Tanjungnagara. Bersama
beberapa tokoh kelas satu, namanya tersohor sebagai salah satu pendekar pembela
kebenaran di Tanjungnagara. Ketika usianya sudah lebih setengah abad dan
telah banyak memperoleh ilmu-ilmu baru, maka di Gunung Kalulong, wilayah Tanjungnagara bagian utara, dia
mendirikan Kindaikaji Paramagiri.
BAB V
RIWAYAT BEBERAPA TOKOH DAN ILMU - ILMU
RIWAYAT BEBERAPA TOKOH DAN ILMU - ILMU
Konon pada
jaman dahulu di Jambudipa terdapat
sebuah kitab ilmu silat yang bernama Pratiwi Parwa atau Kitab Bumi. Kitab ini
menurut legenda merupakan induk dari
segala ilmu silat yang ada di Jambudipa,
bahkan di dunia. Tidak diketahui,
siapakah yang menciptakan atau menyusun kitab tersebut. Yang pasti kitab tersebut telah ada di Jambudipa sejak ribuan tahun yang
lampau. Namun Pratiwi Parwa hampir hanya
menjadi sebuah dongeng karena tidak ada tokoh yang pernah melihat kitab
tersebut secara langsung.
Kemudian muncullah dua orang tokoh sakti di Jambudipa yang menguasai ilmu-ilmu yang
terkandung di dalam Pratiwi Parwa, yaitu Resi
Rama Bhargawa dan Resi Yogadharaka.
Resi Rama Bhargawa yang merupakan seorang pertapa
pengelana, menurut legenda telah berkeliling dunia untuk mencari pendekar yang
mampu mengalahkannya. Namun ratusan tokoh sakti yang dia datangi tewas di
tangannya, termasuk seorang raja besar dari kerajaan Maespati di Jambudipa yang bernama Maharaja Arjuna
Sasrabahu –– yang konon merupakan titisan dari Dewa Wisnu.
Dalam pengembaraannya itu, Resi Rama Bhargawa
menurunkan seluruh ilmunya kepada seorang pemuda yang bernama Widagdha. Resi itu termakan ucapan Widagdha yang
berjanji akan dapat mengalahkannya bila dia menurunkan seluruh ilmu-ilmunya
kepada Widagdha. Resi Rama Bhargawa yang telah jenuh dan kesepian karena tidak
ada lagi tokoh yang mampu mengalahkannya, mengabulkan permintaan Widagdha.
Pemuda itu diajari dengan sungguh-sungguh dengan
maksud dapat menjadi seorang tokoh besar yang kelak mampu menandingi atau
mengalahkannya. Namun cita-cita Resi
Rama Bhargawa tidak kesampaian. Beberapa tahun kemudian, dia tewas ditangan
seorang satria dari kerajaan Ayodya di Jambudipa
yang bernama Rama Wijaya.
Sedangkan Resi Yogadharaka lebih banyak menyepi
untuk memperdalam ilmu-ilmu yang telah dikuasainya dan mencoba menyalin
ilmu-ilmu Bumi yang telah dikuasainya itu. Resi Yogadharaka menurunkan ilmunya
kepada muridnya yang bernama Resi
Witaraga.
Puluhan tahun kemudian, Resi Witaraga bertemu dengan
Widagdha yang telah menguasai ilmu-ilmu Bumi. Keduanya saling bertukar pikiran
untuk melengkapi segala kekurangan yang masih ada pada ilmu-ilmu mereka yang
berasal dari satu sumber itu. Keduanya
kemudian sepakat untuk menyatukan ilmu-ilmu mereka sehingga kemudian lengkaplah
isi dari Pratiwi Parwa yang dulunya dianggap hanya sebuah dongeng itu. Pratiwi
Parwa dibuat dua buah, satu dipegang oleh Resi Witaraga dan satunya oleh
Widagdha.
Dari Pratiwi Parwa inilah kemudian disebarkan
ilmu-ilmu silat yang terkandung di dalamnya ke seluruh Jambudipa. Seiring dengan
berjalannya waktu, ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Pratiwi Parwa akhirnya
tidak mampu dikuasai oleh satu orang secara menyeluruh. Bagian per bagian ilmu
dalam kitab itu akhirnya hanya mampu dikuasai oleh puluhan orang sehingga ilmu–ilmu
dalam Pratiwi Parwa menjadi tercerai berai. Pratiwi Parwa lagi-lagi tidak
diketahui siapa yang paling akhir memiliki atau menyimpannya.
Pratiwi Parwa terpecah-pecah menjadi puluhan kitab
silat yang disusun sesuai dengan orang yang berhasil menguasai ilmu dalam
Pratiwi Parwa seperti Tirta Parwa (Kitab Air), Pawaka Parwa (Kitab Api), Pawana
Parwa (Kitab Angin), Gagana Parwa (Kitab Langit), Kartika Parwa (Kitab
Bintang), Tri Pralayottama Parwa (Kitab Ilmu Tiga Penghancur Utama) dan sebagainya.
Di Tiyungkuk sempalan Pratiwi Parwa disebut Kiu Im - Yang
Cin Keng (Kitab Ilmu Sembilan Rembulan dan Matahari) yang menjadi dasar
terciptanya ilmu-ilmu hebat di sana seperti Ang See Ciang (Telapak Pasir
Merah), Hek See Ciang (Telapak Pasir Hitam), Swat San Sin Ciang (Pukulan Sakti
Gunung Salju), atau Hwee Sian Sin Kang (Tenaga Sakti Dewa Api).
Di Parsi [20]
Pawaka Parwa dijadikan induk dari segala ilmu
silat dan selama ratusan tahun dimiliki oleh aliran pemuja api yang
bernama Istana Dewa Api. Begitu juga di Jepang, Pawaka Parwa dijadikan kitab
induk ilmu silat yang pertama kalinya diajarkan oleh Sekte Pemuja Matahari.
Dan menurut cerita yang ada, salah satu dari sempalan Pratiwi Parwa, yaitu
Tri Pralayottama Parwa, di bawa ke Nusantara oleh Biksu Dharmapala dan Biksu
Dharmadhara. Biksu Dharmapala menetap di Suwarnadipa
dan Biksu Dharmadhara menetap di Tanjungnagara
dan mendirikan Kuil Bakula. Di Bihara
Bakula inilah disimpan Tri Pralayottama Parwa yang memuat tiga buah ilmu
sakti, yaitu Pukulan Penggoncang Dunia, Ilmu Tujuh Gempa dan Ilmu Meledakkan
Dunia.
Pada masa kepemimpinan Biksu Gudadharma, tanpa
sengaja kitab itu dicuri orang. Biksu Tejadharma, penanggungjawab Ruang Pustaka
Bihara Bakula melakukan pencarian.
Setelah melakukan penyelidikan selama beberapa waktu, dia dapat mencium jejak
pencuri dan akhirnya menemukan buruannya itu. Pertarungan sengit terjadi,
tetapi Biksu Tejadharma berhasil menewaskan pencuri. Namun ia sendiri terluka
dalam yang amat parah.
Dalam usahanya pulang ke Bihara Bakula, ia bertemu dan ditolong oleh Panapih, seorang
pendekar muda penuh bakat. Biksu itu menitipkan agar Tri Pralayottama Parwa dapat diantarkan ke Bihara Bakula. Panapih yang memiliki cita-cita ingin menjadi
seorang pendekar berilmu tinggi bersedia mengantarkan kitab itu bila Biksu
Tejadharma mengijinkan dia mempelajari kitab itu. Menyadari bahwa dirinya tidak
mungkin sampai ke Bihara Bakula dan menguatirkan Tri Pralayottama Parwa akan jatuh ke tangan penjahat, Biksu
Tejadharma menulis wasiat kepada ketuanya agar mengijinkan Panapih mempelajari Tri Pralayottama Parwa sebagai balas
jasa atas kesediaan si pemuda mengantarkan Tri Pralayottama Parwa ke Bihara Bakula.
Setelah menulis surat wasiat, Biksu Tejadharma
menghembuskan napas terakhirnya. Panapih membakar jenazah Biksu Tejadharma,
lalu membawa abu jenazahnya ke Bihara Bakula. Biksu Gudadharma memenuhi
wasiat Biksu Tejadharma, karena bagaimanapun dia menghargai kejujuran Panapih
yang mau mengantarkan Tri Pralayottama
Parwa dan abu Biksu Tejadharma. Namun karena melihat ambisi Panapih yang
ingin menjagoi dunia persilatan, maka Biksu Gudadharma membuat siasat. Panapih
diijinkan mempelajari isi Tri
Pralayottama Parwa dengan syarat harus tinggal di Bihara Bakula dan
tidak boleh terjun ke dunia persilatan sebelum menguasai Tri Pralayottama Parwa.
Panapih menyanggupi syarat itu dan diapun disuruh
tinggal di Hutan Pengurung Iblis dengan alasan demi keamanan dirinya dan Tri Pralayottama Parwa. Panapih
sebenarnya sadar, secara tidak langsung dia dikurung di hutan itu untuk
mencegah dia melarikan diri, namun karena pikirannya hanya tercurah untuk
mempelajari Tri Pralayottama Parwa,
dia tidak mempedulikan hal itu, apalagi Biksu Gudadharma berjanji akan mengirim
orang untuk melihat keadaannya setiap enam bulan sekali. Selain itu dia punya
rencana lain, seandainya dia berhasil mempelajari Tri Pralayottama Parwa, dia pikir mungkin tidak akan sulit
baginya untuk keluar dari Hutan Pengurung Iblis, walaupun dia tahu selama
beberapa puluh tahun belum pernah terdengar ada orang yang berhasil lolos dari
Hutan Pengurung Iblis ketika mencoba memasuki hutan itu dengan maksud mencuri
beberapa pusaka Bihara Bakula yang terdapat di dalamnya.
Panapih menyadari merupakan suatu keberuntungan yang
luar biasa dirinya diijinkan untuk mempelajari Tri Pralayottama Parwa, sebuah kitab pusaka sempalan Pratiwi
Parwa yang dibawa pendiri Kuil Bakula dari Jambudipa. Secara tidak
langsung — walaupun tanpa bimbingan guru dari Bihara Bakula — dengan
mempelajari Tri Pralayottama Parwa,
dia telah menjadi bagian dari Bihara Bakula, kalau tidak ingin disebut
sebagai seorang murid. Dan sesungguhnya Panapih adalah seorang pemuda yang
tinggi hati, diapun tidak ingin termakan jasa orang terlalu banyak.
Oleh karena itu dia bermaksud mempelajari Tri Pralayottama Parwa dengan tujuan
untuk menciptakan sebuah ilmu baru yang bersumberkan pada kitab itu. Dengan
demikian dia merasa tidak mempelajari mentah-mentah Tri Pralayottama Parwa. Di Hutan Pengurung Iblis itulah Panapih
menyepi untuk mempelajari Tri Pralayottama Parwa dan berusaha menggabungkan
ketiga ilmu dahsyat yang terdapat dalam Tri
Pralayottama Parwa menjadi sebuah ilmu baru. Selama 30 tahun dia mencurahkan seluruh
bakat, tenaga dan pikirannya sehingga pada usianya yang ke–53, rampunglah ilmu
“modifikasinya” itu dan diberinya nama Kaji
Hinti Latusan Titir Parahai Jagat (Ilmu Inti Ledakan Berantai Pengkiamat
Dunia) yang terdiri tujuh tingkat. Ilmu ini disebutnya juga Kaji Palabur Jagat (Ilmu Pelebur Dunia).
Setelah merasa ilmu ciptaannya rampung, Panapih
pamit kepada ketua Bihara Bakula yang baru, Biksu Dharmayana (karena
Biksu Gudadharma telah lama meninggal dunia) untuk mencoba ilmu barunya ke
dunia persilatan. Biksu Dharmayana menyadari bahwa tidak mungkin dia mencegah
Panapih karena busu itu telah memiliki kesaktian yang luar biasa.
Dirinya dan tokoh Bihara Bakula yang lain belum tentu ada yang mampu
menandingi kesaktian Panapih. Biksu Dharmayana hanya dapat berharap, seiring
dengan pertambahan usianya, Panapih semakin matang dan ambisinya untuk merajai
dunia persilatan berangsur-angsur sirna.
Dalam melakukan uji coba pertama kalinya di sebuah
pulau kecil, Panapih hanya berani mencoba Kaji
Hinti Latusan Titir Parahai Jagat sampai tingkat lima, sedangkan tingkat
enam dan tujuh dia tidak berani mencobanya karena dia memperkirakan pengaruh
ledakan yang ditimbulkan oleh tingkat enam dan tujuh itu kemungkinan dapat
menghancurkan tubuhnya sendiri.
Sehingga untuk dapat mempergunakan Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat tingkat
enam dan tujuh, dia terlebih dahulu harus menguasai ilmu sejenis Kaji Bukang Halimun dari Bihara
Bakula atau ilmu lain yang hampir sama. Akan tetapi karena Kaji Bukang Halimun merupakan ilmu kebatinan yang memerlukan
kebersihan batin, panapih merasa tidak sanggup untuk mempelajarinya. Selain itu
diapun tidak sudi untuk mengemis meminta ijin kepada Bihara Bakula untuk
diperbolehkan mempelajari ilmu itu.
Kemudia Panapih lebih berkonsentrasi untuk
menyempurnakan Kaji Hinti Latusan Titir
Parahai Jagat. Ambisinya untuk merajai dunia persilatan semakin berkurang
karena “kegilaannya” untuk menyempurnakan ilmu ciptaannya itu membuat dirinya
lebih banyak menyepi. Akhirnya energi dahsyat Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat dapat diubahnya menjadi seberkas sinar
sebesar kepalan tangan yang dapat dilontarkan dengan kecepatan yang luar biasa.
Ilmu ini kemudian sebutan lengkapnya adalah Kaji
Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat (Ilmu Tujuh Sinar Inti
Ledakan Berantai Pengkiamat Dunia), di mana urutannya adalah :
1. Tantang Panambai (Tingkat Pertama)
bersinar kuning.
2. Tantang Kaduwa (Tingkat Kedua) bersinar
kuning emas.
3. Tantang Katalu (Tingkat Ketiga)
bersinar merah.
4. Tantang Kampat (Tingkat Keempat)
bersinar ungu.
5. Tantang Kalima (Tingkat Kelima) atau Tantang Panggantar Jagat (Tingkat
Penggoncang Dunia) bersinar hijau muda.
6. Tantang Kanam (Tingkat Keenam) atau Tantang Parangat Jagat (Tingkat Peretak
Dunia) bersinar biru muda.
7. Tantang
Kapitu (Tingkat Ketujuh) atau Tantang
Pampihan (Tingkat Terakhir) atau Tantang
Panyabak Lapikjagat (Tingkat Pencerai Berai Bumi) bersinar putih perak.
Dalam pada itu, tersebutlah Biksu Adidharma, salah
seorang sesepuh Bihara Bakula yang
telah menyepi dan mengangkat seorang murid bernama Halang Pananding. Pemuda ini
sangat berbakat dan pandai dalam hal ilmu silat dan kebatinan, sehingga dalam
usianya yang masih muda sudah mampu menguasai Kaji Bukang Halimun yang memerlukan kebersihan batin untuk mempelajari dan mencapainya. Melihat bakatnya
ini, Biksu Adidharma juga mengajarkan teori Kaji
Pamuangan Jagat Barataan (Ilmu Penetralan Alam Semesta) yang merupakan
sebuah ilmu kebatinan tingkat tinggi di dunia.
Dalam pengembaraannya, Halang Pananding bertemu
dengan Panapih. Mengetahui pemuda itu menguasai Kaji Bukang Halimun, maka Halang Pananding hendak dijadikan murid
olehnya dengan tujuan agar dia dapat mengetahui kedahsyatan Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai
Jagat Tingkat Enam dan Tujuh. Akan tetapi pemuda itu menolak karena
berprinsip selama hidupnya hanya ada satu guru, yaitu Biksu Adidharma. Halang
Pananding akhirnya dijadikan anak angkat oleh Panapih. Pemuda itu diajarinya Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai
Jagat dan dalam waktu singkat Halang
Pananding mampu menguasai Kaji Pancar
Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat.
Halang Pananding diminta mencoba tingkat keenam dan
ketujuh Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan
Titir Parahai Jagat. Kedua orang itu
segera pergi untuk mencari sebuah sasaran yang cocok untuk dijadikan uji coba Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai
Jagat. Mereka akhirnya berlayar ke arah selatan Tanjungnagara, ke tengah lautan untuk mencari sebuah pulau kecil.
Mereka menemukan sebuah pulau kecil dan setelah diperiksa pulau tersebut tidak
ada penghuninya, Panapih menyuruh Halang Pananding melancarkan Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai
Jagat Tantang Parangat Jagat dan Tantang Panyabak Lapikjagat.
Namun terlebih dahulu Panapih menyingkir ke sebuah
pulau lain yang cukup jauh dari lokasi sasaran Halang Pananding. Ketika Halang
Pananding menghantam pulau kecil itu dengan tingkat keenam, maka pulau itu
langsung berantakan dan begitu ditambah
dengan tingkat ketujuh, pulau itu hancur menjadi serpihan-serpihan dan lenyap
dari permukaan laut. Lautan bergelombang dahsyat berakibat timbulnya tsunami, menerpa
pulau yang digunakan Panapih untuk berlindung. Untung pendekar sakti ini dapat
bertahan dengan mengerahkan segenap ilmunya agar jangan ikut tersapu ke tengah
lautan. Halang Pananding sendiri tidak mengalami apa-apa karena dia telah
menggunakan Kaji Bukang Halimun.
Sadar bahwa dirinya tidak akan mungkin dapat
menggunakan tingkat enam dan tujuh Kaji
Hinti Latusan Titir Parahai Jagat kalau tidak memiliki ilmu pelindung
tubuh sejenis Kaji Bukang Halimun,
maka Panapih berusaha menciptakan ilmu baru yang dapat melindungi dirinya dari
pengaruh Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan
Titir Parahai Jagat. Dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya,
dia kembali menyepi. Setelah menyepi selama tujuh tahun, barulah dia dapat
menciptakan Kaji Bukang Hintan (Ilmu
Tubuh Intan) yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat.
Akan halnya Halang Pananding, pemuda ini menjadi
jago muda tanpa tanding di tanah Tanjungnagara.
Banyak tokoh-tokoh muda dan tua yang kagum akan keberuntungan dan
kepandaiannya, karena dalam usia muda mampu menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi
yang sebenarnya membutuhkan waktu lama untuk menguasainya. Tapi dalam usianya
yang masih muda, dia mengundurkan diri dari gelanggang dunia persilatan karena
masalah asmara. Dia terlibat dalam masalah cinta segitiga. Gadis yang
dicintainya, Diyang Maranti ternyata
lebih memilih kepada kakak kandungnya, Tingang Pananding, seorang sasterawan
yang tidak pandai ilmu silat.
Sementara itu, sekitar abad ke–7 M, di Baghdad
hiduplah seorang jenderal sakti bernama Salahuddin bin Hambali. Tokoh ini turut serta dalam penaklukan Syria Raya dan
Persia (dalam perang Yarmuk dan Qadisyah) pada tahun 636 M. Karena berselisih
dengan atasannya, dia mundur dari militer dan mengasingkan diri di sebuah
tempat terpencil di wilayah negeri Baghdad.
Dalam kesunyiannya, dia berhasil menciptakan Ilmu
Sejati Sang Malaikat Gaib yang terdiri dari 20 jurus, yaitu :
1. Cahaya Malaikat ke Penjuru Dunia
2. Malaikat
dari Lubuk Neraka
3. Kemilau
Malaikat Pudarkan Mentari
4. Tenaga
Malaikat Tujuh Neraka (bersifat keras dan panas)
5. Tenaga
malaikat Tujuh Kahyangan (bersifat lembut dan dingin)
6. Malaikat
Menjemput Roh
7. Malaikat
Curahkan Hujan
8. Perbawa
Sang Malaikat Maut
9. Bala
Malaikat Turun ke Mayapada
10. Malaikat
Menutup Gerbang Tujuh Kahyangan
11. Sangkakala
Malaikat Kiamatkan Dunia
12. Sepuluh
Malaikat Utama
13. Malaikat
Sakti Membalik Tujuh Lapis Bumi (sejenis ilmu mengembalikan / membalik serangan lawan)
14. Malaikat
Membuka Tujuh Lapis Langit (sejenis Kaji
Bukang Halimun dan penyerap tenaga lawan).
15. Malaikat
Maut Pancarkan Maut
16. Penghulu
Malaikat Turunkan Wahyu
17. Malaikat
Maut Mencabut Nyawa Iblis
18. Malaikat
Maut Mencabut Nyawa Malaikat
19. Malaikat–Malaikat
Penjaga Persemayaman
20. Penghulu Malaikat Heningkan Semesta
Ilmu tersebut diturunkan kepada buyutnya, Walid bin
Abbas bin Thalib bin Salahuddin. Pada usianya yang ke–19 tahun, Walid berhasil
menguasai Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat 20. Pada perang Talas
yang terjadi pada bulan Juli 751 M, antara gabungan tentara Arab dan Turki
melawan tentara Tiyungkuk pimpinan
Panglima Besar Gao Xianzhi, Walid bin Abbas yang sudah berusia lanjut
ditugaskan menghadapi jago–jago Tiyungkuk
yang mahir Ilmu Telapak Sakti Sang Budha. Secara kontroversial Walid bin Abbas
berhasil dengan gemilang menaklukkan tiga jago utama Tiyungkuk yang menguasai
ilmu paling tinggi di Timur Jauh itu.
Keperkasaan Walid bin Abbas diketahui Jar’un bin
Kasab, cucu murid dari Su’ban bin Badad si pencipta Ilmu Penggoda Iblis Neraka.
Anak Jar’un yang bernama Shoraqah, disuruh mencuri Kitab Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib. Akan
tetapi, setelah berhasil mencuri kitab itu, Shoraqah berniat menguasainya
sendiri dan untuk menghindari kejaran ayahnya, dia lari ke Jambudipa. Jar’un
marah bukan main. Setelah mencari anaknya itu selama dua tahun, dia berhasil
menemukannya. Ayah dan anak itu bertempur memperebutkan Kitab Ilmu Sejati Sang
Malaikat Gaib. Shoraqah tewas, Jar’un
sendiri jatuh ke jurang hingga mengalami kelumpuhan.
Mayat Shoraqah ditemukan oleh dua orang pesilat dari
Melayu yang sedang menuntut ilmu di Jambudipa,
yaitu Sidabusu Karang Sambilan dari Suwarnadipa dan Hang Sempana dari Samananjung Malaya (Semenanjung
Malaysia). Kitab Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib mereka bawa ke Baghdad untuk
diserahkan kepada Walid bin Abbas. Sebagai tanda terima kasihnya, Walid
mengajarkan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib kepada keduanya. Sebelum pulang, keduanya diikat sumpah agar mengajarkan ilmu
itu hanya pada seorang murid dalam satu generasi.
Puluhan tahun kemudian, keturunan Sidabusu Karang
Sambilan yang bernama Sidabusu Karang Bahari atau Datuk Maninggi Basar berhasil
menguasai Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat kesebelas sehingga
membuatnya menjadi jago tanpa tanding di Suwarnadipa
dan Jawadipa. Dia menyeberang ke Tanjungnagara dan mengalahkan puluhan
tokoh sakti di sana.
Ketika mengetahui bahwa Halang Pananding memiliki
kesaktian yang amat tinggi di Tanjungnagara,
Sidabusu Karang Bahari mencari pemuda itu. Padahal pemuda itu telah lama
menyepi. Dengan segala tipu daya dan muslihat, akhirnya Sidabusu Karang Bahari
dapat memaksa Halang pananding muncul untuk memenuhi tantangannya. Pertempuran
mereka sangatlah dahsyat sehingga tanpa disadari sampai ke sebuah pulau di
utara Jawadipa bagian barat yang bernama
Pulau Wanara. Pertempuran mereka yang amat seru, membuat pulau itu hancur
berkeping-keping akibat bentrokan Kaji
Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat tingkat tujuh dengan Ilmu Sejati Sang
Malaikat Gaib tingkat sebelas. Pulau Wanara yang pecah dan menjadi gugusan
pulau-pulau kecil itu dikemudian hari disebut penduduk Jawadipa dengan nama Kanusan Sewu atau Kepulauan Seribu.
Melihat ketangguhan lawan masing-masing, kedua
pemuda itu saling menaruh kagum dan simpati. Keduanya mengikat tali persahabatan
dan saling mendiskusikan tentang ilmu silat. Berkat bantuan Halang Pananding,
Karang Bahari dapat menembus Ilmu Sejati
Sang Malaikat Gaib sampai tingkat tiga belas. Sebagai rasa terima kasihnya,
Karang Bahari menyerahkan salinan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib kepada Halang
Pananding agar pemuda itu dapat membantunya memecahkan ketujuh tingkat
terakhirnya. Sebagai imbalannya Halang Pananding diperkenankan untuk
mengajarkan ilmu itu kepada salah seorang muridnya bila kelak dia mengambil
murid.
Karang Bahari berjanji akan datang lagi ke Tanjungnagara untuk mengetahui, siapa di
antara mereka berdua yang dapat memecahkan tujuh tingkat terakhir Ilmu Sejati
Sang Malaikat Gaib setelah tujuh tahun kemudian.
Tanpa sengaja, Halang Pananding menemukan Istana Naga
Perak, tempat kediaman mendiang Busu
Barung Panyambar si Naga Perak. Dia mempelajari Ilmu Naga Perak peninggalan busu itu. Kelak, tepat pada usianya yang
ke–40 tahun, dia berhasil menguasai ilmu tersebut sehingga tubuh dan wajahnya
tetap awet muda seperti orang yang berumur 40 tahun saja walau usianya nanti
mencapai ratusan tahun.
Di Istana Naga Perak inilah dia menyepi dan berhasil
menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat ke–15. Ilmu ini dapat
ditembusnya setelah dia terlebih dahulu dapat memecahkan rahasia ilmu kebatinan
Kaji Pamuangan Jagat Barataan. Akan tetapi, setelah mencapai tingkat ke–15
itu, walaupun telah mencapai pencerahan batin,
Halang Pananding tidak mampu lagi
menembus tingkat berikutnya. Kalau dia paksakan, maka pikirannya akan kacau dan
tenaga dalamnya akan bergolak tidak
terkendali. Akhirnya dia menghentikan usahanya untuk menembus tingkat
ke–16 Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib.
Tujuh tahun kemudian, Sidabusu Karang Bahari datang,
ternyata lelaki itu tidak mampu menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib
setingkatpun! Sehingga untuk mencapai tingkat ke–15, dia harus dibantu dan
dibimbing oleh Halang Pananding.
Terdorong oleh nafsunya untuk menembus tingkat 16,
Karang Bahari berlatih keras tanpa memperdulikan resiko yang mungkin akan
dialaminya yang dalam istilah dunia persilatan disebut sasat urukan.[21] Baru mencapai setengah jalan, Karang
Bahari mengalami hal itu. Ia terluka parah. Halang Pananding hanya mampu menolong sahabatnya itu
terhindar dari bahaya kematian, tetapi tidak mampu menyelamatkannya dari cacat
seumur hidup. Tenaga dalam Karang Bahari musnah total! Tokoh sakti ini tidak mau pulang ke Suwarnadipa karena merasa malu dengan
keluarganya dan tokoh-tokoh di sana. Selain itu kesombongannya selama ini pasti
membuatnya banyak memiliki musuh sehingga bagaimana dia mampu menjaga diri bila
dia terjun ke dunia persilatan.
Karang Bahari memilih menetap di Istana Naga Perak.
Akhirnya dia meninggal dalam usia sekitar 40 tahun. Selama menetap di sana, dia
mempelajari kitab-kitab yang ada di Istana Naga Perak dan menciptakan ilmu-ilmu
baru berdasarkan inspirasinya.
Melihat sahabatnya meninggal dunia akibat memaksa
diri untuk melatih dan menembus tingkat selanjutnya dari Ilmu Sejati Sang
Malaikat Gaib, Halang Pananding merasa tertantang
dan terpanggil jiwanya untuk pergi ke Baghdad menemui keturunan Walid bin Abbas
untuk minta petunjuk agar dapat menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib tingkat
ke–16 sampai ke–20.
Kebetulan di Parsi
baru saja usai pertarungan sengit antara Kadir bin Husin, keturunan dari Walid
bin Abbas melawan Sani bin Syam yang merupakan cucu murid keturunan dari Su’ban
bin Badad si pencipta Ilmu Penggoda Iblis Neraka. Pertarungan yang amat seru
dan menarik perhatian banyak tokoh sakti dari berbagai mancanegara itu
dimenangkan oleh Kadir.
Konon ratusan
tahun yang silam, Su’ban bin Badad yang berasal dari Parsi itu pernah dikalahkan Jenderal Salahuddin Bin Hambali dalam
perang Qadisyah. Su’ban yang merupakan
jago nomor satu di Parsi itu sangat
terpukul akan kekalahannya. Setelah peristiwa itu, dia tidak berani lagi muncul
ke dunia persilatan karena malu. Dia mengasingkan diri untuk menciptakan sebuah
ilmu yang digunakan untuk membalas kekalahannya kepada Salahuddin bin
Hambali. Selama puluhan tahun dia
menyepi dan terciptalah 13 tingkat Ilmu Penggoda Iblis Neraka :
01. Godaan
Iblis Pembuai Sukma
02. Api Murni
Tubuh Iblis
03. Bisikan
Iblis Penggoyah Tekad
04. Surga Dunia
Tipuan Iblis
05. Iblis
Merasuk Manusia
06. Goda Iblis
Kobarkan Angkara
07. Taburan
Angkara Sang Iblis
08. Iblis
Durhaka Menolak Sembah
09. Kobaran
Nafsu Selaksa Iblis
10. Kesesatan
Iblis Kunci Tobat
11. Tenaga
Iblis dan Semesta Setan
12. Mendung
Angkara Sang Iblis
13. Hawa Penyesatan Iblis Selubungi Dunia
Setelah berhasil menguasai ilmu itu, Su’ban mencari
Salahuddin untuk membalas dendam. Namun
tidak disangkanya, musuhnya itu ternyata juga menciptakan ilmu dahsyat yang
mampu mengalahkannya kembali. Kekalahannya yang kedua ini membuat Su’ban
lumpuh. Sejak saat itulah murid–murid Su’ban bersumpah akan membunuh setiap
orang yang menguasai Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib untuk membalaskan dendam
guru mereka.
Halang Pananding bertemu Kadir di negeri Parsi itu. Kadir mengajak Halang
Pananding ke Baghdad. Setelah mendapat penjelasan dari Kadir, barulah Halang
Pananding paham, kenapa dia tidak mampu lagi menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat
Gaib tingkat ke–16 sampai ke–20.
Ternyata disebabkan pandangan dasar mereka yang berbeda, di mana Ilmu
Sejati Sang Malaikat Gaib diciptakan berdasarkan pandangan tokohnya yang
beragama Islam, sedangkan Halang Pananding berusaha memahaminya berdasarkan
cara pikir agamanya, yaitu Budha.
Setelah berada di Baghdad selama dua tahun, di Jambudipa selama tiga tahun, di Tiyungkuk selama lima tahun, Halang
Pananding kembali ke Nusantara. Di
Suwarnadipa dia menurunkan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib kepada keturunan
mendiang Karang Bahari yang bernama Karang Bagana. Setelah berada di sana
selama sepuluh tahun, dia kembali ke Tanjungnagara
dan menyepi untuk merenungkan pengalaman-pengalamannya selama mengembara di
mancanegara.
Pada usianya yang ke–75 tahun, Halang Pananding
muncul kembali ke dunia persilatan dan membuat tokoh-tokoh tua yang seangkatan
atau pun di bawahnya yang pernah mengenal dirinya terkejut melihat fisiknya
yang tidak mengalami perubahan seperti orang yang berumur 40 tahunan saja.
Orang–orang persilatan segera menjulukinya Datu
Landang Wayah Tunggang Angin yang
secara harfiah diartikan Orang Tua Panjang Umur yang Mengendarai Angin karena
kesaktian dan umurnya yang panjang itu (965–1148 M).
Datu Landang Wayah mengambil dua orang murid untuk mewarisi ilmu–ilmunya, yaitu
Gantar Banua (1027–1179 M) dan Santang Aran (1029–1106 M). Keduanya diajari ilmu-ilmu seperti : Pahampul Manunggang Angin (Ilmu Ringan
Tubuh Mengendarai Angin), Kaji Bukang
Halimun, Kaji Bukang Hintan, Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat,
Kaji Hastapuang Jagat Hinip (Ilmu
Tangan Kosong Dunia Hening), Kaji Mandau
Pamacah Humbaya (Ilmu Mandau Pemecah Bayangan) dan Pupuhan Pamacul Karantika (Pukulan Perontok Bintang).
Gantar Banua setelah terjun ke dunia persilatan
mendapat julukan si Penggoncang Dunia karena sepak terjangnya yang tidak kenal
ampun pada golongan hitam. Dalam pengembaraannya, pemuda ini mendapat Daun
Te-ratai Emas sehingga selain tenaga dalamnya bertambah tinggi, usianya juga
jadi panjang. Wajahnya seperti sang guru — tetap seperti orang berusia 40
tahunan — walaupun, kelak, usianya lebih dari seratus tahun.
Gantar Banua tidak mampu menguasai Kaji Bukang
Halimun dan Kaji Bukang Hintan sehingga — walaupun mampu menguasai Kaji
Pitu Pancar Hinti Latusan Titir Parahai Jagat sampai tingkat tujuh — hanya
berani menggunakan Kaji Pitu Pancar Hinti Latusan Titir Parahai Jagat sampai tingkat lima.
Sementara Santang Aran yang selalu aktif di dunia
persilatan dalam menegakan kebenaran dan membasmi kebatilan, di dunia
persilatan mendapat julukan Kucing Emas Berbulu Perak karena mendapatkan Ilmu
Kucing Emas Berbulu Perak dari Busu Bayan
Bagak Martaga seorang pendekar tua yang berilmu tinggi.
Pemuda ini dapat menguasai Kaji Bukang Halimun sehingga
dapat menggunakan Kaji Pitu Pancar Hinti Latusan Titir Parahai Jagat yang
dikuasainya sampai tingkat akhir.
Tujuh puluh lima tahun setelah mengambil murid
Gantar Banua dan Santang Aran, Datu
Landang Wayah mengambil Wahan Ayungan Jati Habulan atau Mamang Anum atau Ambak
Banar (1107–1152 M), putera keenam dari Busu Mamang Sidi Jati Habulan dengan
Sitawaning sebagai muridnya. Sitawaning, ibu Ambak Banar merupakan keturunan dari mendiang Tingang
Pananding, kakak kandung Datu Landang
Wayah. Setelah Ambak Banar, dua tahun kemudian, dia mengambil dua orang murid
lagi, yaitu Karuwan dan Sungkayan.
Ketiga pemuda ini diajari oleh Datu Landang Wayah dengan ilmu-ilmu yang sama. Selain itu diberi
juga ilmu khusus yang disesuaikan dengan sifat, bakat dan kemampuan mereka.
Ambak Banar yang kelihatan penyabar diajari Kaji Kancing Sarik (Ilmu Penutup
Kemarahan). Kelak ilmu inilah yang melahirkan Kaji Sagara Kasarikan (Ilmu Lautan Kemurkaan) dalam diri Ambak
Banar. Karuwan diajarkan Kaji Mangumpul
Banyubaku Salawasan (Ilmu Menumpuk Es Abadi) yang mampu membekukan sebuah
telaga kecil dalam beberapa detik. Sedangkan Sungkayan yang perkasa mendapatkan
Kaji Bukang Hintan warisan dari
mendiang Panapih, ayah angkat Datu
Landang Wayah.
Dalam usia yang masih muda, yaitu 16 tahun, Ambak
Banar sudah turun gunung mencari pengalaman. Ambak Banar merupakan seorang
pemuda yang haus akan ilmu kesaktian sehingga selalu tekun berlatih dan
merenung. Dia bercita-cita dapat mendirikan aliran baru dalam jagat pandikar Tanjungnagara serta
menciptakan ilmu-ilmu baru lewat tangannya sendiri.
Pada usianya yang ke–21, dia berhasil
menciptakan Hiat Naga Umbang (Jurus Naga Umbang) yang terdiri dari 18 jurus.
Kelak setelah mengalami pencerahan batin, dia menggenapkan jurus tersebut
sampai 40 jurus.
Kemudian lewat pengalaman gaibnya, tanpa sengaja dia
berhasil meyakinkan Kaji Sagara Kasarikan,
di mana apabila kemarahannya tidak dapat ditahan lagi, akan menimbulkan tenaga
dahsyat dalam dirinya yang kadang-kadang sukar dikendalikan dan harus
disalurkan keluar untuk dibuang. Konon keberhasilannya menguasai ilmu ini tidak
lepas dari bantuan ibunya. Ibu Ambak Banar, Sitawaning, yang dikenal sebagai seorang wanita penyabar,
bertolak belakang dengan suaminya, ayah Ambak Banar yang pemarah. Dengan
bantuan ibunya, dia berhasil menyelami inti dari kesabaran, pemaaf dan menahan
hawa kemarahan yang dirubah menjadi energi yang luar biasa besarnya.
Pada usianya yang ke–25, Ambak Banar mulai terbuka
pikirannya. Suatu ketika dia kehujanan karena tidak ada tempat berteduh.
Terbetiklah dalam pikirannya untuk memahami dan menyelami sifat-sifat air.
Dengan membersihkan hati dan pikiran, dia mulai menciptakan jurus-jurus air.
Dalam pengembaraannya, dia terus merenung dan mencipta.
Sekitar tahun 1135 M, dia menghancurkan Perguruan
Halilintar di Hutan Sabak Batu di daerah Sungai Batu Banawa[22]. Busu Mahayau,
ketua Perguruan itu ditewaskan
bersama 37 orang pengikutnya. Peristiwa ini amat menggemparkan orang dan
membuat nama Ambak Banar segera dikenal luas dan membuatnya dijuluki si Naga Pahinipan atau si Naga
Penyembunyi. Di bekas markas Perguruan Halilintar itulah dia mendirikan Kindaikaji Halimun (Perguruan Kabut).
Untuk pertama kalinya dia mengambil 17 orang remaja berbakat yatim piatu yang
berumur rata-rata 8 tahun untuk diajari ilmu–ilmu Kajigancang Banyu Jagat (Tenaga
Dalam Air Dunia) dan Hiat Naga Umbang.
Pada usianya yang ke–35, Ambak Banar berhasil
merampungkan Wawacan Banyu (Kitab
Air) yang memuat ilmu-ilmu silat yang diciptakan dan
disusun berdasarkan pada sifat–sifat air. Isi kitab itu terus dikembangkan
sampai akhir hayatnya.
Dalam waktu singkat terjadilah polemik di dunia
persilatan. Ambak Banar dituduh menjiplak bahkan memiliki Tirta Parwa yang
telah lama lenyap dari Jambudipa.
Tirta Parwa merupakan kitab sempalan dari Pratiwi Parwa yang amat terkenal di
dunia, khususnya di belahan dunia timur sebagai kitab yang berisikan
dasar-dasar ilmu beladiri di dunia. Jago-jago
dari Jambudipa berdatangan untuk
mengambil Tirta Parwa, seperti Jaladi Bhirawa, Tirtasuta, Jaladhara dan
Jalageni.
Kemudian berdatangan pendekar-pendekar dari
mancanegara lainnya seperti Sanjani dari Parsi,
Suma Hai Liong dari Tiyungkuk,
Prahasta dari Silan (Srilanka),
Momotaro dari Jepang, Hang Segara dari
Semenanjung Malaya, Datuk Raja Di
Langit dari Suwarnadipa, dan Ki Buyut
Banyu Biru dari Jawadipa yang
tujuannya juga untuk mendapatkan Tirta Parwa.
Di
hadapan tokoh-tokoh besar itu Ambak Banar mencoba menjelaskan tentang Wawacan Banyu yang dia ciptakan. Mereka berdebat saling mengemukakan
argumentasi masing–masing. Lewat penjelasan yang panjang lebar, semua
tokoh-tokoh mancanegara itu akhirnya dapat mengerti, bahwa Wawacan Banyu memang ciptaan
sejati Ambak Banar walaupun banyak sekali kemiripannya dengan Tirta Parwa.
Mereka akhirnya memaklumi sebuah inti dari persoalan
itu bahwa dari sumber yang sama, akan menghasilkan
sesuatu yang sama pula, walaupun bentuk atau namanya yang berbeda, sumur,
sungai, laut, kolam, danau memiliki sumber air yang sama, yang membuat beda
hanyalah tempat, sebutan, kualitas dan kuantitas serta keadaan airnya.
Para tokoh mancanegara itu kemudian saling
berdiskusi tentang ilmu silat dan mengadakan pertandingan persahabatan untuk
mengetahui sejauh mana kehebatan
ilmu-ilmu yang terkandung dalam Wawacan
Banyu. Pertarungan mereka merupakan
hal yang amat menarik bagi kaum persilatan sehingga berbondong-bondong mereka
datang untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Konon mereka yang menyaksikan
pertandingan, sebagian besar dapat mengambil manfaatnya sehingga ilmu silat
mereka bertambah tinggi.
Ambak Banar
meninggal dalam usia
yang relatif muda, yaitu pada umur 45 tahun dengan meninggalkan dua
orang anak dari hasil perkawinannya dengan Diyang Kaliyan, yaitu Halang Pananding
Jati Habulan atau Santang Aran yang berumur 15 tahun dan Sira Manguntur yang
berusia 13 tahun. Kelak setelah menguasai sebagian Kitab Air, Halang Pananding
inilah yang menciptakan Hiat Mandau Lapik
Walu (Jurus Mandau Delapan Dasar) dan Hiat
Naga Sabujurnya (Jurus Naga Sejati).
Selama beberapa
periode, Kindaikaji Halimun mampu
bersaing dengan tujuh aliran besar silat lainnya di Tanjungnagara dalam menanamkan pengaruhnya. Walaupun keberadaannya
di dunia persilatan selalu mengalami pasang surut karena sangat minim akan
jago-jago tangguh. Hal ini disebabkan
ilmu-ilmu silat perguruan itu yang sulit dipelajari, namun sekali lahir jago
tangguh, maka namanya langsung akan menjulang di jagat pandikar Tanjungnagara dan sekaligus mengangkat kembali nama Kindaikaji Halimun.
[1] Pulau Kalimantan.
[2] Ketiganya berasal dari Bahasa Sanskerta
yang artinya Pulau Intan.
[3] Diidentikkan dengan nama sebuah kerajaan
besar di Kalimantan sekitar abad ke–6
M di sekitar Sungai Tabalong, Tanjung,
Kalimantan Selatan.
[4] Sekarang wilayah Propinsi Kalimantan
Selatan. Pada jaman dahulu, wilayah Kalimantan Selatan diperkirakan sebuah
tanjung, di mana dataran rendah yang terdapat di sebelah barat dan timur
Pegunungan Maratus (daerah Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Utara) masih berupa teluk besar.
[5] Piagam batu berbentuk tugu.
[6] Diperkirakan terletak di sekitar Muara
Kaman, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
[8] Sistem ajaran gaib yang diperkembangkan
Hinduisme dengan maksud membebaskan orang dari dunia khayalan seperti yang
dipahami dengan pancaindera
[9] Golongan pendeta Budha yang berada di
masyarakat
[10] Golongan resi atau pertapa yang merupakan
kasta tertinggi dalam agama Hindu.
[12] Pimpinan Rohani suku Dayak yang memiliki fungsi sebagai Pendeta dan Paranormal.
[13] Ikan Tembakul biasanya suka melompat-lompat
pada batang yang hanyut di sungai, berpindah dari satu batang ke batang yang
lain. Ini menjadi kiasan kepada orang yang tidak memiliki pendirian tetap.
[14] Bertanding mengadu kepandaian atau kesaktian
untuk menentukan siapa yang paling hebat atau jago.
[15] Pedang khas suku Dayak di Kalimantan.
[16] Panggilan kepada lelaki pertengahan umur.
[17] Buyut, namun dapat juga diartikan sebagai
panggilan kehormatan kepada seseorang atau yang dituakan dalam masyarakat.
[18] Daerah Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan sekarang.
[19] Sejenis logam berwarna kuning yang
dihasilkan oleh serangga penyegat untuk mengasah antupnya. Bentuknya amat kecil
dan sangat sulit dicari. Besi ini biasanya digunakan untuk penjaga diri oleh
sebagian masyarakat.
[20] Persia, sebutan untuk negeri Iran pada jaman
dahulu.
[21] Tersesat sewaktu latihan yang dapat
menimbulkan kematian atau cacat.
[22] Daerah Pagat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar