Selasa, 26 Maret 2013

Tutur Jagat Pandikar Tanjungnagara


Pengantar:

Sejak kecil saya sudah menggemari komik Indonesia, baik silat maupun superhero seperti serial Mandala Si Siluman Sungai Ular (Man – Mansyur Daman), serial Indra Bayu (Jan Mintaraga), Serial Cakung (Kelana), serial Jaka Tuak (Hengky), serial Godam (Wid NS), serial Gundala (Hasmi), serial Gina (Gerdi WK). Begitu juga dengan cerita silat (cersil) mandarin dan nusantara yang membuat saya berkeinginan ingin membuat sebuah buku “babon” mengenai kisah dunia persilatan di Pulau Kalimantan, lengkap dengan perguruan/partai, tokoh-tokoh, istilah-istilah silat dalam Bahasa Banjar, peristiwa sampai lokasi-lokasi uniknya.
Ketika remaja, saya sering mencoba membuat komik dengan tokoh rekaan saya sendiri dan saya coba kirimkan ke media lokal maupun nasional yang ada pada waktu itu. Ada yang dimuat, dan ada yang tidak. Sayang sekali, sebagai remaja yang memiliki uang pas-pasan, tidak sempat terpikirkan untuk memotocopy naskah-naskah komik saya itu sehingga sampai sekarang saya tidak memiliki kenangan apa-apa tentang karya-karya saya waktu dahulu. Pernah saya mencoba menjelajahi internet untuk melihat situs-situs media yang pernah memuat karya saya, ternyata tidak ada. Maklum media pada tahun 80-an sampai 90-an pun belum memiliki media penyimpanan digital seperti sekarang ini.
Kembali ke laptop, eh, pembahasan. Setelah menyalin kembali naskah yang pernah saya tulis dengan mesin tik (itu pun waktu itu mencuri-curi kesempatan di sela waktu luang di sebuah kantor kontraktor tempat saya bekerja) ke komputer (dan itu pun juga kembali curi-curi kesempatan di kantor tempat saya bekerja setelah diterima sebagai PNS) akhirnya saya dapat menyelesaikan naskah fiksi ini dengan judul: Tutur Jagat Pandikar Tanjungnagara.
* * *


Kehidupan terjadi karena adanya pertemuan dua perbedaan
seperti adanya pergantian antara siang dan malam
kenyataan  - impian, panas dan hujan
kelahiran - kematian, nyala dan padam
Semua yang bertolak belakang dan bertentangan
menyebabkan berputarnya roda kehidupan
begitu juga dengan kebaikan dan kejahatan
dua unsur yang selalu berlawanan
Silih bergantian
Kejahatan menutupi kebenaran
kebenaran mengalahkan kejahatan
kejahatan menguasai kebenaran
terus berputar, berpulun
mengiringi roda kehidupan
Namun pada hakikatnya kebenaran tak mungkin kalah
walau setumpuk kejahatan selalu melingkupinya
meski untuk memenangkannya penuh jalan berliku
pengorbanan harta, air mata, bahkan darah
akhirnya kebenaran tetap yang nomor satu jua
itulah aturan alam yang selalu berlaku
Kejahatan ada karena lepasnya kekang nafsu
nafsu laksana nyala api
yang bahan bakarnya adalah penurutan
makin dilonggarkannya kekang penurutan
makin berkobarlah nyala sang api
membakar hasrat kesenangan semu
Manusia sebenarnya makhluk paling mulia
bila kekang nafsu jadi kunci utama
maka manusia bagaikan Sang Iblis penggoda
bila hidup diperbudak hawa nafsunya
dan akan lebih tinggi dari Malaikat
bila hawa nafsunya mampu diikat
Kejahatan ada untuk menghancurkan kebaikan
dan kebaikan ada untuk mengalahkan kejahatan
Keduanya diciptakan agar manusia dapat menentukan pilihan
bahwa mereka hidup untuk mencari kebahagiaan dan akan mendapat cobaan
Kejahatan tak mungkin dibasmi
hanya dapat dikurangi
sebab kejahatan selalu mengiringi
kehidupan umat insani
yang hanya dapat diakhiri
seiring dengan berakhirnya kehidupan ini
kehidupan seluruh umat insani
Kejahatan adalah kegelapan
yang dapat mengarahkan insan pada jalan kesesatan
menjerumuskan manusia ke jurang kehancuran
Maka pelita adalah cahaya kebenaran
untuk mengurangi kegelapan
memberi petunjuk dan penuntun
agar manusia melangkah pada jalan sejati
jalan yang lurus dan hakiki
menuju gerbang kebahagiaan abadi



Senin, 1 Maret 1993.
Abdari Muzara Ibnu HM.

* * *

Semua nama, tempat dan waktu dalam cerita ini hanya bersifat karangan penulis belaka. Kalau ada persamaan nama, tempat dan waktu, itu hanya bersifat kebetulan semata guna memenuhi alur cerita.
Namun demikian, sebagian nama, tempat, kejadian, peristiwa dan waktu dalam cerita ini ada yang bersifat nyata, benar-benar terjadi dalam sejarah, akan tetapi tetap tidak dapat dijadikan dasar atau fakta untuk karangan ilmiah / non fiksi.

* * *


KATA PENGANTAR
TUTUR JAGAT PANDIKAR TANJUNGNAGARA atau Cerita Dunia Persilatan Kalimantan, di-susun sebagai acuan bagi penulis dalam mengarang cerita-cerita silat yang berlatar belakang tanah Kalimantan  sehingga alur cerita nantinya tidak kelihatan simpang siur atau janggal  karena adanya nama, tokoh, tempat atau kronologis cerita yang bertentangan antara karangan yang satu dengan yang lain dari penulis sendiri.
Buku ini diharapkan juga dapat menyamakan persepsi atau pandangan bagi pengarang cerita-cerita silat lain yang menjadikan tanah Kalimantan sebagai latar belakang cerita atau bagian cerita mereka terhadap nama-nama tokoh, tempat, waktu, aliran-aliran silat di Kalimantan dan sebagainya.
Dengan demikian, walaupun pengarangnya berbeda-beda, namun nama-nama sebagian tokoh, tempat, waktu dan aliran-aliran silat di Kalimantan secara garis besar dalam cerita tetap sama.
1 Maret 1993
Penulis.


Bagian  Satu

ASAL USUL





































BAB   I
RIWAYAT  ILMU SILAT DI TANJUNGNAGARA

Tanjungnagara[1] pada jaman dahulu disebut juga dengan nama Bajradipa, Manidipa, Hiradipa,[2] Tanjung Pura[3] dan Barunadipa. Barunadipa artinya Pulau Air karena waktu pertama kali menginjakkan kakinya ke pulau ini, para penjelajah dari Jambudipa (India) melihat daerahnya penuh de­ng­an air yaitu terdiri atas sungai dan rawa-rawa yang begitu luas.
Dari kata Baruna inilah kemudian oleh lidah penjelajah bangsa Barat disebut Borneo. Sedangkan istilah Nusa Hujung Tanah adalah sebutan penduduk Tanjungnagara untuk daerah bagian tenggara Tanjungnagara, di sebelah barat dan timur kaki Pegunungan Maratus ke arah selatan pada jaman dahulu.[4]
Keadaan geografis Tanjungnagara terdiri atas daerah pegunungan, dataran rendah dan rawa-rawa. Di Tanjungnagara tidak ada gunung berapi. Banyak sungai-sungai besar dan panjang terdapat di Tanjungnagara seperti Sungai Barito, Kapuas, Mahakam, Kahayan dan Landak. Sungai-sungai tersebut merupakan prasarana transportasi yang amat penting bagi penduduk Tanjungnagara. Hal ini menyebabkan konsentrasi penduduk Tanjungnagara pada umumnya berada pada daerah-daerah aliran sungai. Pada daerah pegunungan, sebagian besar tinggal suku asli yang disebut suku Dayak yang terbagi lagi dalam beberapa sub suku seperti Lawangan, Ma’anyan, Ot Danum, dan lain-lain. Orang Melayu yang tinggal di daerah Hujung Tanah menyebut orang Dayak yang tinggal di pegunungan dengan sebutan Urang Bukit yang maksudnya adalah orang gunung.
Tanjungnagara mulai memasuki jaman sejarah sekitar abad ke–4 M dengan ditemukannya prasasti-prasasti berbentuk Yupa,[5] ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta di daerah Kutai (propinsi Kalimatan Timur). Menurut prasasti-prasasti tersebut, pada waktu itu Kerajaan Kutai[6] diperintah oleh Mulawarman, putera Aswawarman, cucu Raja Kudunga. Agama yang dianut raja dan penduduk Kutai adalah agama Hindu. Setelah Kutai, kemudian disusul oleh kerajaan-kerajaan lain seperti Puni, Tanjung Pura, Sabah, Sedu, Parama Artha Pura atau Paramarta Pura,[7] Nagara Dipa, Nagara Daha, Banjar, Sambas, Sukadana, Landak, Kotawaringin dan sebagainya.
Ratusan tahun yang silam, seperti juga daerah-daerah lain di Timur Jauh, khususnya di kawasan Nusantara, maka di Tanjungnagara juga berkembang dengan pesat ilmu beladiri atau silat. Pada mulanya ilmu beladiri itu masih bersifat sederhana, lugas, tidak mempunyai bentuk baku, seperti penamaan untuk sebuah rangkaian gerak (jurus), pembakuan rangkaian gerak sebuah jurus, dan sebagainya. Kegunaan ilmu beladiri pada waktu itu hanya untuk keperluan menjaga atau membela diri, belum berkembang ke aspek lain seperti untuk menjaga kesehatan, pertunjukkan seni, budaya atau sebagai suatu mata pencaharian (penjaga keamanan, tukang pukul atau mendirikan perguruan silat untuk mengajarkan ilmu silat kepada orang lain).
Masuknya agama Hindu dan Budha ke Tanjungnagara, yang juga diikuti oleh masuknya kebudayaan lain dari Jambudipa — asal agama Hindu dan Budha — seperti kesusasteraan, kesenian, tata pemerintahan dan sebagainya, termasuk ilmu beladiri, maka mulailah dikenal penamaan gerakan silat, pembakuan gerakan sebuah jurus, tehnik-tehnik latihan fisik,  tehnik-tehnik pernapasan untuk membangkitkan kajigancang (tenaga dalam) yang banyak dipengaruhi oleh  ilmu Yoga[8]  dan lain-lainnya. Selain itu, juga dikenalnya bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang berasal dari Jambudipa Selatan, menyebabkan ilmu-ilmu beladiri yang ada di Tanjungnagara mulai “dibukukan” di atas lembaran-lembaran kulit kayu, hewan, daun, batu, tulang dan sebagainya. Hal ini membuat ilmu beladiri makin tersebar dan dapat dipelajari oleh semua orang yang berminat di Tanjungnagara.
Tokoh yang dianggap sebagai pembaharu ilmu silat asli Tanjungnagara adalah Resi Yamuna Dwipayana, seorang pendeta Hindu dari Jambudipa. Tokoh ini juga yang mendirikan Kuwil Padma (Kuil Teratai) di Kerajaan Kutai. Lalu tokoh kedua yang dianggap makin memperkaya pembaharuan ilmu silat di Tanjungnagara adalah Biksu Dharmadhara, pendeta Budha yang juga berasal dari Jambudipa dan pendiri Bihara Bakula (Biara Bunga Tanjung) di Kerajaan Tanjung Pura.
Kemudian mulai terjadinya hubungan perdagangan dan kebudayaan dengan Tiyungkuk (Cina) juga makin menambah khasanah ilmu silat di Tanjungnagara. Ilmu silat Tiyungkuk banyak mempengaruhi ilmu silat di Tanjungnagara, terutama dalam mempelajari Hiat-to hoat (ilmu aliran darah), Tiam-hiat hoat (ilmu menotok aliran darah), penamaan jurus-jurus yang berdasarkan pada fenomena alam (seperti gerak-gerik hewan, tumbuhan atau kejadian alam), pengobatan atau ilmu pertabiban, falsafah-falsafah silat seperti : bertahan menang menyerang kalah atau menyerang berarti meraih kemenangan dan sebagainya. Juga adanya pembentukan partai-partai atau aliran persilatan merupakan pengaruh dari dunia persilatan Tiyungkuk, seperti lumampah (aliran atau partai), panunggalan (serikat atau perkumpulan) maupun kindaikaji (perguruan).
Pada mulanya ilmu beladiri yang telah baku atau standar itu hanya berkembang dan diajarkan pada murid-murid (biksu) di dua kuil besar agama Hindu dan Budha yang pertama kalinya berdiri di Tanjungnagara, yaitu Kuwil Padma (agama Hindu) di Kerajaan Kutai dan Bihara Bakula (agama Budha) di  Kerajaan Bakula Pura atau Tanjung Pura. Adanya kaum Upasaka[9] dan kaum Brahmana[10] yang menerima murid di kalangan masyarakat serta diterimanya murid-murid dari kalangan masyarakat biasa oleh tokoh-tokoh dari kedua kuil itu, membuat ilmu beladiri yang telah baku itu mulai tersebar di masyarakat umum dan dipelajari oleh berbagai lapisan yang berminat terhadap ilmu beladiri.
Maka dari kedua kuil besar itu, yang dianggap sebagai cikal bakal ilmu beladiri di Tanjungnagara, lahirlah aliran-aliran silat baru maupun kindaikaji (perguruan — silat) yang tersebar di seluruh Tanjungnagara bahkan sampai ke Mindanau (Filipina). Perguruan-perguruan itu mendidik puluhan murid-muridnya yang mereka persiapkan untuk membela kebenaran dan keadilan, membuat prestasi, menjaga dan mempertahankan eksistensi perguruan ataupun mengharumkan nama perguruan mereka bila berpetualang ke dunia persilatan yang mereka sebut jagat pandikar, seperti halnya bu lim (rimba persilatan) atau kang ouw (sungai telaga) di Tiyungkuk atau buanalaga  di Jawadipa (Pulau Jawa).
Selain itu, agama  Hindu dan Budha  juga membawa banyak pengaruh pada kepercayaan penduduk asli Tanjungnagara (suku Dayak) yang disebut Kaharingan. Banyak istilah-istilah dalam agama Hindu dan Budha diadaptasi, dijadikan istilah-istilah dalam kepercayaan Kaharingan, misalnya sangiang, diwa, batara[11]  dan sebagainya.  Seorang balian[12] yang telah menuntut ilmu di Kuwil Padma selama puluhan tahun, yaitu Balian Sungkanai, setelah selesai belajar ilmu agama Hindu, ilmu surat dan ilmu silat, kemudian mendirikan Kuwil Lewo Telu (Kuil Kahyangan) yang bercirikan kepercayaan Kaharingan. Kuil ini pada akhirnya mampu menyejajarkan diri dengan Kuwil Padma dan Bihara Bakula di Tanjungnagara sebagai sebuah aliran silat tersendiri yang diperhitungkan dan disegani di dunia persilatan.
Apalagi Kuwil Lewo Telu mampu mempertahankan ciri khas ilmu silat asli Tanjungnagara yang orisinil yaitu banyak mengandung sifat menyerang, lugas tanpa adanya variasi-variasi atau kembangan yang ingin menonjolkan suatu seni atau keindahan di dalam gerakan-gerakannya. Padahal pengaruh ilmu silat dari Jambudipa dan Tiyungkuk justeru memberikan tambahan dengan memasukkan unsur seni dan keindahan di dalam gerakan-gerakannya. Dari kuil inilah banyak dikenal ilmu-ilmu silat yang dianggap keras dan ganas oleh kaum persilatan di Tanjungnagara yang merupakan hasil ciptaan tokoh-tokoh Kuwil Lewo Telu maupun hasil inventarisasi dari ilmu-ilmu silat asli yang ada di Tanjungnagara. Konon banyak tokoh-tokoh silat yang berasal dari luar Tanjungnagara yang tertarik untuk belajar ilmu-ilmu silat asli Tanjungnagara di kuil ini. Beberapa tokoh silat termasyhur mengakui bahwa ilmu-ilmu silat asli Tanjungnagara yang dianggap keras dan ganas itu ternyata sangat efektif dalam mempersingkat waktu pertarungan. Karena  esensi dari ilmu-ilmu silat asli Tanjungnagara itu adalah menyerang atau membunuh maka tentu saja hal terpenting dalam setiap gerakannya adalah bagaimana cara melumpuhkan lawan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Menjelang akhir abad ke–10 M, di  jagat pandikar Tanjungnagara (dunia persilatan Kalimantan) terdapat tujuh aliran silat besar yang dianggap memegang “dominasi” jagat pandikar Tanjungnagara yang dikenal dengan istilah Galambang Pitu (Tujuh Partai atau Tujuh Aliran). Secara umum ketujuh aliran itu disebut pitu lumampah ganal jagat pandikar Tanjungnagara (tujuh aliran besar dunia persilatan Kalimantan).
Walaupun masih banyak aliran silat lain di Tanjungnagara, namun — secara tidak tertulis atau hanya menurut kesepakatan umum — kaum persilatan hanya mengakui ketujuh aliran itulah yang namanya dianggap sangat berpengaruh dan selalu turut berperan serta dalam membina perkembangan ilmu silat dan kedamaian di jagat pandikar Tanjungnagara, yaitu :
1.   Kuwil Padma
Didirikan oleh Resi Yamuna Dwipayana,  seorang pendeta Hindu yang berasal dari Jambudipa pada tahun 634 M di wilayah Kerajaan Kutai.
2.   Bihara Bakula
Didirikan oleh Biksu Dharmadhara, seorang pendeta Budha yang datang dari Jambudipa pada tahun 712 M di wilayah Kerajaan Tanjung Pura atau  Kerajaan Bakula Pura.
3.   Kuwil Lewo Telu
Didirikan oleh Balian Sungkanai, seorang pimpinan ritual Kaharingan  suku Dayak pada tahun 761 M. Balian ini lama menimba ilmu di Kuwil Padma dan dengan kecerdasan yang dimilikinya, dia banyak menciptakan ilmu “cangkokan” antara ilmu silat asli Tanjungnagara dengan ilmu-ilmu silat yang berasal dari luar, terutama Jambudipa.
4.   Kindaikaji  Anggang–Naga (Perguruan Enggang–Naga)
Didirikan oleh Manta Bakalang, seorang murid tak langsung Bihara Bakula dari kalangan masyarakat biasa (bukan golongan pendeta) pada tahun 803 M. Namun berkat kepintaran dan kepandaiannya, dia mampu menciptakan ilmu-ilmu silat baru sehingga diakui sebagai salah seorang paajar umang (guru besar) dalam ilmu silat pada waktu itu. Apalagi secara resmi, sebenarnya Manta Bakalang tidak diakui sebagai murid Bihara Bakula sehingga dengan mendirikan suatu aliran silat tersendiri, bukan berarti dia mengingkari Bihara Bakula sebagai “almamater”-nya.
5.   Kindaikaji Talabang (Perguruan Perisai)
Didirikan oleh Panggar Kalang, adik seperguruan dari Manta Bakalang pada tahun 819 M. Sama seperti halnya Manta Bakalang, dia bukan murid langsung Bihara Bakula, melainkan murid Biksu Junjung Dharma yang telah lama mengasingkan diri dari Bihara Bakula sehingga tokoh ini pun dapat mendirikan aliran silat tersendiri.
6.   Kindaikaji Matanandau (Perguruan Matahari)
Didirikan oleh Mahakam Suta pada tahun 932 M. Tokoh ini mencurahkan seluruh hidupnya untuk mempelajari Kitab Matahari warisan leluhurnya sehingga berhasil menguasai hampir seluruh isi kitab tersebut dan mendirikan Kindaikaji Matanandau.
7.   Kindaikaji Paramagiri (Perguruan Paramagiri)
Didirikan oleh Sidabusu Alahan Rumbai, seorang pendekar dari Suwarnadipa (pulau Sumatera) pada tahun 897 M.
Kuwil Padma dan Bihara Bakula dianggap sebagai cikal bakal aliran-aliran  silat yang ada di Tanjungnagara, sehingga tidak mengherankan jika keduanya mempunyai perbendaharaan ilmu-ilmu silat yang beraneka ragam dan lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan perguruan-perguruan lain di Tanjungnagara sehingga disebut orang “Dwitunggal Dunia Persilatan”  atau dikenal dengan istilah duwa lumampah umang (dua aliran utama) atau disebut juga tihang umang  jagat pandikar (tiang utama dunia persilatan).
Sebenarnya  masih terdapat sebuah aliran silat besar di Tanjungnagara, yaitu Palampahan Gunung Awang Pitu (Pertapaan Gunung Awang Pitu). Namun karena aliran ini bersikap netral, tidak ikut berkecimpung di dalam urusan dunia persilatan, di mana mereka lebih mengutamakan bertapa, sehingga kaum persilatan tidak merasa perlu memasukkan  dalam  “daftar” aliran besar dunia persilatan di Tanjungnagara. Aliran ini melarang keras murid-muridnya ikut berkecimpung di dalam dunia persilatan. Hal ini untuk menjaga reputasi dan kepercayaan yang diberikan oleh golongan putih dan golongan hitam di Tanjungnagara yang mengangkat aliran Palampahan Gunung Awang Pitu sebagai pahalat jagat pandikar (juru penengah dunia persilatan) bila terjadi pertikaian antara kedua golongan yang sepanjang masa selalu bertolak belakang itu.
Di dalam jagat pandikar Tanjungnagara, bila diperinci terdapat empat golongan besar masyarakatnya, yaitu buhan putih (golongan putih), buhan hirang (golongan hitam), buhan panangah (golongan netral) dan buhan paalihan (golongan yang bermuka dua) yaitu mereka yang berpihak kepada golongan yang menguntungkan dirinya. Kaum persilatan sering menjuluki golongan ini dengan istilah buhan timpakul (golongan Ikan Tembakul[13]). Walaupun terbagi kepada empat golongan, namun antara buhan putih  dan buhan hirang  inilah yang sering terjadi pertikaian.
Apabila golongan putih merasa terancam eksistensinya oleh golongan hitam yang — biasanya — ingin  menguasai dunia persilatan, maka mereka akan mengangkat seorang pemimpin kaum pendekar yang disebut Hahulu Pandikar (Ketua Persilatan)  melalui kesepakatan bersama atau bila tak ada kata sepakat, dipilih melalui adu silat yang disebut bahaharatan.[14] Pemenangnya akan diangkat sebagai Hahulu Pandikar untuk beberapa waktu lamanya, tergantung kesepakatan golongan putih, berapa lama seorang Hahulu Pandikar itu diperlukan. Hahulu Pandikar memiliki tanda pengenal yang disebut Lancana Kancana Anggang–Naga (Medali Emas Enggang–Naga) dan senjata  Mandau[15] yang bernama  Mandau Naga Kancana Pancar Nila Pangadap Jagat (Mandau Naga Emas Sinar Biru Pengelam Dunia) yang merupakan salah satu dari tiga belas senjata paling ampuh di jagat pandikar Tanjungnagara. Bila jabatan Hahulu Pandikar kosong, maka kedua pusaka itu (medali dan mandau) disimpan di Palampahan Gunung Awang Pitu.
Hahulu Pandikar dibantu oleh empat orang  Hahulu Cakang (Ketua Cabang)  yaitu cabang  paksina (utara), matanandau timbul (timur), daksina (selatan) dan matanandau pajah (barat). Mereka ini juga memiliki tanda pengenal yang disebut  Kukut Anggang Kancana (Cakar Enggang Emas). Tanda pengenal Kukut Anggang Kancana ini konon terbuat dari baja putih yang dilapisi dengan emas, sehingga dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh. Pada masing-masing tanda pengenal itu tertulis nama cabangnya.
Seperti halnya golongan putih, golongan hitam pun untuk mempertahankan eksistensinya di dunia persilatan mengangkat seorang pemimpin yang mereka sebut Pamuka Ganal (Pemimpin Besar) yang dipilih lewat bahaharatan. Pamuka Ganal ini memiliki tanda pengenal sekaligus dapat dijadikan senjata  yang amat berbahaya yang disebut Tangkurak Raha (Tengkorak Darah). Pamuka Ganal ini juga dibantu oleh empat Hahulu Cakang, yaitu cabang utara, timur, selatan dan barat. Para Hahulu Cakang juga memiliki tanda pengenal yang berwujud sepasang tangan dan kaki manusia.
Salah satu perisitiwa pertikaian yang paling besar antara golongan putih dan hitam adalah peristiwa perebutan Kindaikaji Rakun (Perguruan Awan) antara dua buah keluarga keturunan pendekar besar yang bernama Busu[16] Tangkal Jati Habulan yang melibatkan banyak partai di Tanjungnagara. Busu Tangkal Jati Habulan merupakan pendiri Kindaikaji Rakun di mana perguruan ini ketika masih dipimpinnya mampu mengalahkan pamor “Tujuh Partai” yang ada di Tanjungnagara. Ketika diadakan pertemuan perguruan sekawasan Nusantara, Kindaikaji Rakun inilah yang mewakili Tanjungnagara karena keadaan perguruan lain pada waktu itu dalam keadaan turun pamornya sehingga para ketua Tujuh Partai sepakat menunjuk Busu Tangkal Jati Habulan sebagai utusan tokoh dan perguruan dari Tanjungnagara.
Ketika Busu Tangkal Jati Habulan meninggal dunia, ketua Kindaikaji Rakun digantikan oleh Busu Alang Bantar Jati Habulan. Busu Alang Bantar Jati Habulan memiliki empat orang putera. Ketika putera bungsunya Busu Mamang Sidi Jati Habulan ditunjuk sebagai pewaris ketua Kindaikaji Rakun — karena dianggap memiliki ilmu silat paling tinggi di antara keempat puteranya, maka putera sulung Busu Alang Bantar Jati Habulan yang bernama Busu Mandawar Jati Habulan terhasut putera-puteranya untuk merebut kursi ketua. Lewat intrik yang keji, Busu Mamang Sidi Jati Habulan diracuni sehingga jatuh sakit sampai kemudian meninggal dunia dan untuk sementara ketua Kindaikaji Rakun dipegang oleh Busu Mandawar Jati Habulan.
Setelah beberapa tahun kemudian, keturunan Busu Mamang Sidi Jati Habulan yang merasa berhak atas Kindaikaji Rakun menuntut kepada keluarga Busu Mandawar Jati Habulan untuk menyerahkan perguruan itu. Namun karena ketua Kindaikaji Rakun kemudian diambil alih oleh putera Busu Mandawar Jati Habulan yang bernama Ampat Kalang Jati Habulan, maka persoalan makin rumit. Putera Busu Mandawar Jati Habulan itu juga merasa berhak atas Kindaikaji Rakun. Busu Mandawar tidak dapat berkutik terhadap ulah putera-puteranya, walaupun dia sendiri pada akhirnya menyesali keserakahannya terhadap adiknya, mendiang Busu Mamang Sidi Jati Habulan.
Karena masing-masing keturunan kedua busu  itu merasa berhak atas Kindaikaji Rakun, maka siapa yang paling berhak atas perguruan itu akhirnya ditentukan dengan jalan perang.  Puluhan partai, perguruan, perserikatan  dan tokoh di jagat pandikar Tanjungnagara terlibat dalam perang dua keluarga besar itu yang masing-masing mendukung keluarga Busu Mamang Sidi Jati Habulan dan keluarga Busu Mandawar Jati Habulan, di mana golongan putih lebih condong mendukung keluarga Busu Mamang Sidi Jati Habulan.
Perebutan Kindaikaji Rakun, digambarkan bukan lagi perang antara keturunan Busu Mamang Sidi Jati Habulan dengan keturunan Busu Mandawar Jati Habulan, melainkan sudah dimuati oleh unsur lain seperti intrik politik oleh kerajaan yang berkuasa pada waktu itu, keinginan untuk mengharumkan nama di jagat pandikar  Tanjungnagara, balas dendam, motiv ingin menguasai jagat Pandikar Tanjungnagara dengan cara menghancurkan seluruh keturunan Busu  Tangkal Jati Habulan, walaupun unsur dominan yang terlihat adalah perang antara golongan putih dan golongan hitam.
Di dunia persilatan, keturunan Busu Mandawar Jati Habulan dikenal sering melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aturan dunia persilatan sehingga dengan berkuasanya keturunan Busu  Mandawar Jati Habulan di Kindaikaji Rakun — yang merupakan partai terkuat pada masa itu — membuat buhan hirang mendapat pelindung yang kuat untuk melakukan aksi kejahatannya di dunia persilatan. Maka pertikaian keturunan Busu  Tangkal Jati Habulan dijadikan kesempatan oleh buhan hirang dan buhan putih untuk saling menumpas musuh mereka. Peristiwa ini merupakan salah satu tragedi besar di jagat pandikar Tanjungnagara karena memakan banyak korban.


BAB II
TANDA PENGENAL  DUA GOLONGAN
DI JAGAT PANDIKAR TANJUNGNAGARA

1.      LANCANA KANCANA  ANGGANG–NAGA
Merupakan tanda pengenal Hahulu Pandikar golongan putih di jagat pandikar Tanjungnagara.
Lancana Kancana Anggang–Naga berbentuk  bulat pipih dengan diameter sekitar 6 cm. Pada bagian tengahnya terdapat bundaran berbentuk bola yang  dapat dibuka. Pada bidang bundaran bagian muka terdapat gambar seekor burung enggang dan pada bidang bundaran belakang bergambar seekor naga. Medali ini terbuat dari emas murni.
Di dalam bundaran medali itu terdapat cincin emas bermata intan berujung runcing. Bila dialirkan tenaga dalam khusus ke ujung intan tersebut akan terpancar sinar merah yang amat kecil yang panjang pancarannya dapat diatur sampai sejauh sepuluh meteran dan mampu menembus atau memotong benda-benda keras seperti besi atau baja. Selain itu sinar tersebut juga dapat memancarkan cahaya yang amat terang dalam radius empat meter sehingga dapat dipakai sebagai penerangan waktu gelap.
Pada kedua sisi lempengan medali terdapat ukiran huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno yang amat kecil berisi ajaran Kajigancang Anggang–Naga Sabuku (Ilmu tenaga dalam Enggang–Naga Bersatu), suatu ajaran tenaga dalam yang memadukan unsur panas dan dingin. Menurut cerita, ilmu ini diciptakan oleh seorang tokoh sakti di Tanjungnagara yang bernama Datu[17]  Pamukah Batang, seorang pandai besi yang berilmu silat tinggi. Ilmu tenaga dalam inilah yang mampu memancarkan sinar merah lewat  cincin intan  yang disebut di atas. Karena ajarannya yang terlalu rumit, selama ratusan tahun hanya ada beberapa orang yang berhasil menguasai ilmu tersebut.
2.      TANGKURAK RAHA
Tangkurak Raha merupakan tanda pengenal Pamuka Ganal dunia persilatan golongan hitam di Tanjungnagara. Tangkurak Raha ini terbuat dari tengkorak bayi lelaki yang berumur 40 hari yang lahir pada saat gerhana bulan. Konon tengkorak bayi tersebut telah direndam dalam ramuan 41 racun dalam darah tiga belas perawan — yang lahir pada bulan purnama bulan tujuh — selama 12 purnama, sehingga selain racunnya amat dahsyat, kekerasannya setara dengan besi.
Tangkurak Raha ini dibuat oleh Datu Jahung yang juga pembuat Golok Iblis yang terkenal itu.
Keistimewaan Tangkurak Raha ini mampu menyedot/memunahkan racun. Pasalnya Tangkurak Raha ini hanya meracuni tubuh orang yang sehat, sedangkan terhadap tubuh orang yang keracunan, Tangkurak Raha ini justeru menyedot racun yang bersarang di dalam tubuh orang tersebut. Sedangkan tanda pengenal Hahulu Cakang berupa kerangka pergelangan tangan kanan dan kiri untuk cabang selatan dan utara,  serta pergelangan kaki kanan dan kiri untuk cabang  barat dan timur. Seperti Tangkurak Raha, tanda pengenal Hahulu Cakang ini juga memiliki racun dan keampuhan yang sangat mematikan, walaupun tidak sehebat Tangkurak Raha.


BAB III
TIGA BELAS SENJATA UTAMA
DI JAGAT PANDIKAR TANJUNGNAGARA

1.      MANDAU KANCANA ANGGANG–NAGA SANGGA-BUANA
Mandau Kancana Anggang–Naga Sanggabuana (Mandau Emas Enggang–Naga Pelindung Dunia) oleh kaum persilatan disebut juga Pedang Cakrawala Gaib, karena bila senjata ini dicabut, konon alam akan terang benderang dan mengelam selama beberapa kejap seperti halnya kilat mengerjap diwaktu malam hari. Mandau ini memancarkan sinar dwiwarna. Bagian atas memancarkan sinar merah dan bagian bawah atau matanya memancarkan sinar biru. Ketajaman mandau ini mampu memotong intan dan desir angin kibasannya dapat memutuskan benda-benda di sekitarnya.
Mandau ini terbuat dari batu meteor. Oleh seorang Pawasian (Pandai Besi)  sakti yang bernama Datu Palamas Wasi, batu meteor itu dibuat senjata berupa tiga buah mandau, yaitu Mandau Kancana Anggang–Naga Sanggabuana, Mandau Anggang Kancana Pancar Habang Hindau Jagat (Mandau Enggang Emas Sinar Merah Penerang Dunia) dan  Mandau Naga Kancana Pancar Nila Pangadap Jagat.
Keistimewaan Mandau Kancana Anggang–Naga Sanggabuana adalah tidak dapat memotong benda bernyawa , termasuk  hewan. Selain itu keampuhannya juga tergantung pada rasa percaya diri dan keyakinan pemegangnya. Karena keampuhannya yang bergantung pada pemegangnya inilah, kaum persilatan tidak terlalu berhasrat untuk memperebutkannya.
Apalagi bagi golongan hitam, karena mereka sadar, orang yang dapat membangkitkan kesaktian mandau itu hanyalah orang yang berhati lurus, maka mereka tidak berminat untuk memiliki pusaka tersebut. Mandau ini merupakan pusaka utama kerajaan Tanjung Pura.
2.      MANDAU ANGGANG KANCANA PANCAR HABANG HINDAU JAGAT
Mandau Anggang Kancana Pancar Habang Hindau Jagat merupakan mandau jantan atau pasangan dari Mandau Naga Kancana (Mandau Naga Emas). Disebut juga Mandau Anggang Kancana (Mandau Enggang Emas). Mandau ini memancarkan hawa panas dan bila dicabut maka langit akan terang benderang dalam beberapa kejap.
Mandau ini merupakan salah satu pusaka milik Bihara Bakula yang dihadiahkan oleh Datu Palamas Wasi kepada salah seorang murid kuil tersebut ketika menghadapi gerombolan penjahat di daerah Sungai Amandit.[18]
3.      MANDAU NAGA KANCANA PANCAR NILA PANGADAP JAGAT
Mandau Naga Kancana Pancar Nila Pangadap Jagat merupakan mandau betina yang memancarkan hawa dingin. Bila mandau ini dicabut, langit akan mengelam dalam beberapa kejap. Mandau Naga Kancana diidentikkan dengan milik  Hahulu Pandikar golongan putih,  maka bila tidak ada Hahulu Pandikar, mandau ini disimpan di Palampahan Gunung Awang Pitu.
4.      PEDANG SINAR PELANGI
Pedang ini memancarkan sinar pelangi yang cemerlang. Ketajamannya dapat memotong baja seperti memotong batang pisang. Konon pusaka ini berasal dari Tiyungkuk dan dibawa ke Tanjungnagara oleh Sangkan Awang (Singkoan Wan), seorang pendekar dari Tiyungkuk yang mengungsi bersama isteri dan putera tunggalnya, Sangkan Liyung (Singkoan Liong) karena urusan dendam turun temurun di negerinya.
Sangkan Liyung menikah dengan gadis pribumi dan menjadi cikal bakal keluarga Sangkan yang memiliki Pedang Sinar Pelangi.
5.      GOLOK IBLIS
Disebut juga Golok Selaksa Nyawa, Golok Maut Penghisap Darah, Golok Penyesat Sukma, Golok Sukma Penasaran, Golok Bernyawa, Golok Kegelapan, Golok Kejahatan, Golok Angkara Murka karena perbawanya yang luar biasa mengerikan. Golok ini memiliki ketajaman yang setara dengan pusaka Pedang Sinar Pelangi. Warnanya merah darah, bersinar redup, berbau amis yang sangat menyengat dan mengandung racun mematikan.
Golok ini mampu  menghisap darah dan tenaga dalam orang yang terkena, lalu masuk ke tubuh pemegangnya. Kalau pemegangnya tidak memiliki tenaga batin yang kuat, dapat terpengaruh untuk selalu melakukan pembunuhan. Konon golok ini dibuat oleh seorang penjahat besar bernama Datu Jahung dari ribuan miligram besi yang terkandung dalam tubuh manusia, sehingga untuk membuat sebuah golok tersebut dia telah membunuh ratusan manusia untuk diambil saripati besinya.
Golok ini diidentikkan dengan milik golongan hitam sebagai lambang kejahatan, sehingga orang yang berhasil memiliki golok ini, walaupun tidak memiliki Tangkurak Raha akan dianggap Pamuka Ganal bagi golongan hitam yang pantas dipatuhi.
Sepanjang sejarah jagat pandikar Tanjungnagara, golok ini selalu berpindah tangan antara satu tokoh ke tokoh lain, menjadi rebutan golongan hitam maupun putih dengan maksud yang berbeda-beda terhadap golok tersebut.
6.      PEDANG API NERAKA
Pedang ini memancarkan sinar merah marong seperti bara yang pancaran panasnya mencapai radius sepuluh meter. Ketajaman dan kekuatannya dapat disetarakan dengan pusaka-pusaka yang telah disebutkan di atas. Selama beberapa ratus tahun hanya beberapa orang tokoh yang mampu membawa dan memegang pedang ini, karena untuk memegangnya diperlukan tenaga dalam dan tenaga batin yang kuat.
Pedang ini disimpan dalam kolam kecil di Kuwil Padma yang airnya selalu mendidih akibat panas yang dipancarkan oleh pedang itu.
7.      CAKRA WIJAYA SURYA
Disebut juga Cakra Halilintar.
Merupakan pusaka peninggalan pendiri Kuwil Padma. Sinarnya kuning menyilaukan dan memancarkan hawa panas yang luar biasa. Cakra Wijaya Surya ini dapat dikendalikan dengan tenaga pikiran sampai sejauh radius dua kilometer.
8.      MANDAU TELAGA BEKU
Disebut juga  Mandau Halimun (Mandau Kabut) atau Mandau Saun Banyubaku (Mandau Kabut Es).
Mandau ini memancarkan sinar biru redup yang mengeluarkan hawa dingin luar biasa sampai radius lima meteran. Saking dinginnya, konon kobaran api langsung padam bila didekatkan  atau dilemparkan ke dalamnya.
Mandau ini disimpan dalam  sebuah goa di kolam kecil di Kindaikajii Talabang. Goa dan  kolam tersebut menjadi beku akibat pengaruh mandau ini.
9.      CAMBUK NAGA MERAH
Disebut juga Pacat Naga Habang. Cambuk ini memancarkan sinar merah yang mengeluarkan hawa panas dengan panjang sekitar lima meter. Selain lemas dan kuat, sabetannya juga dapat memutuskan sebatang pohon ulin yang berdiameter satu meter bila dibarengi dengan pengerahan tenaga dalam.
Cambuk ini pertama kali dimiliki oleh seorang pendekar yang bernama Busu Palang yang mendapat julukan si Cambuk Naga. Kemudian pusaka itu diturunkan kepada anaknya dan seterusnya murid ataupun keturunan dari murid-muridnya.
10.    GOLOK MATAHARI
Parang Matanandau (Golok Matahari) ini memiliki ukuran dan bobot yang lebih besar dari golok umumnya. Panjang golok ini hampir satu meter. Memancarkan sinar perak yang panas dan me-
nyilaukan. Pada bagian atas golok ini terdapat lubang-lubang kecil sehingga kalau golok ini diayunkan menimbulkan suara dengungan yang nyaring menyakitkan telinga. Merupakan salah satu pusaka Kindaikaji Matanandau.
11.    TOMBAK PENEMBUS REMBULAN
Merupakan salah satu pusaka milik Kindaikaji Paramagiri  yang keampuhannya — konon — dapat menembus besi setebal satu jengkal. Gagangnya dapat dipendekkan sampai sepanjang 50 cm sehingga mudah diselipkan di pinggang pemakainya.
12.    MANDAU BATANG GARING
Merupakan salah satu pusaka milik Kuwil Lewo Telu. Kehebatannya,  selain amat tajam, juga sarung dan gagangnya yang terbuat dari kayu Batang Garing (Pohon Kehidupan) mampu menawarkan beberapa jenis racun dan penyakit. Selain disebut Mandau Batang Garing, para murid Kuwil Lewo Telu juga menyebutnya  Mandau Lewo Telu (Mandau Kahyangan).
13.    PEDANG GEMULUNG
Pariwas Pulun (Pedang Gemulung) disebut juga Pedang Besi Kuning, Pedang Sinar Emas atau Pedang Sambar Nyawa. Terbuat dari wasi kuning[19] sehingga memiliki kekuatan gaib untuk menolak serangan seperti hujan senjata (pemegangnya selalu terhindar dari serangan senjata lawan dan memiliki kekuatan).
Pedang Gemulung ini sangat tajam dan tipis, sehingga saking tipisnya dapat digulung. Dan untuk mengeraskan pedang ini diperlukan penyaluran tenaga dalam ke batang pedang itu. Pedang Gemulung merupakan salah satu pusaka Kindaikaji Anggang–Naga.


BAB IV
RIWAYAT BERDIRINYA
ALIRAN–ALIRAN SILAT DI TANJUNGNAGARA

Pada pertengahan abad ke-7 M, di wilayah Kerajaan Kutai didirikan sebuah kuil yang bernama Kuwil Padma yang merupakan  kuil agama Hindu. Di kemudian hari, kuil ini akhirnya menjadi kuil agama Hindu  terbesar di Tanjungnagara. Kuil tersebut didirikan oleh seorang pendeta Hindu dari Jambudipa yang bernama Resi Yamuna Dwipayana.
Selain mengajarkan dan menyebarkan agama Hindu, kuil ini pun mengajarkan ilmu beladiri atau silat kepada murid-muridnya (para resi) dengan tujuan untuk menjaga kesehatan, menjaga diri maupun membela kaum yang lemah.
Pada masa itu hukum “rimba” memang masih berlaku walaupun kerajaan sudah memiliki peraturan ketatanegaraan. Namun karena sifat masyarakatnya yang masih memiliki “naluri primitif”, dimana setiap permasalahan lebih banyak diselesaikan dengan kekerasan sehingga berlaku ketentuan, siapa yang kuat dialah yang benar! Akibatnya banyak masyarakat yang belajar ilmu silat untuk menjaga diri, harta dan keluarganya. Namun dampak lainnya adalah banyaknya kemampuan beladiri itu yang disalahgunakan untuk melakukan kejahatan.
Maka untuk melindungi masyarakat itulah, Kuwil Padma mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, baik yang dididik sebagai resi atau pertapa maupun sebagai seorang pendekar.
Pada masa kepemimpinan Resi Wiratadharma, datanglah Balian Sungkanai, seorang tokoh suku Dayak di Tanjungnagara untuk belajar agama Hindu di Kuwil Padma. Usia Balian Sungkanai pada waktu itu sekitar 40 tahun. Setelah belajar hampir 20 tahun, Balian Sungkanai kembali ke daerahnya dan mendirikan Kuwil Lewo Telu.
Kuwil Lewo Telu, selain sebagai pusat tradisi kepercayaan Kaharingan di Tanjungnagara, juga mengajarkan ilmu silat murni dari Tanjungnagara, walaupun sebagian mendapat pembaharuan di sana-sini, namun sifat khasnya, yaitu kekerasan dan kelugasan tanpa adanya seni keindahan masih banyak terlihat. Dalam permainan senjata, maka Kuwil Lewo Telu dikenal dengan ilmu mandaunya. Ilmu Mandau Kuwil Lewo Telu diakui orang sebagai ilmu mandau paling hebat di Tanjungnagara, baik karena kecepatannya maupun keganasannya.
Selain itu, kuil ini pun dikenal memiliki ilmu-ilmu yang berbau gaib. Salah satu ilmu mandau Kuwil Lewo Telu yang amat ditakuti orang adalah Kaji Mandau Silip Parang Maya (Ilmu Mandau Gaib Golok Semu). Konon bila orang yang menguasai ilmu ini melancarkan serangannya, lawan jarang sekali mampu mengantisipasi serangannya, sehingga tahu-tahu roboh dengan dada berjalur biru tanpa ada luka.
Pada akhir abad ke–7 M, datanglah dua orang guru besar agama Budha dari Jambudipa ke Nusantara, yaitu Biksu Dharmapala dan Biksu Dharmadhara. Biksu Dharmapala menetap di Kerajaan Sriwijaya dan dengan bantuan Raja Sriwijaya, dia mendirikan pusat agama Budha di sana.
Sedangkan Biksu Dharmadhara menyeberang ke Tanjungnagara. Pada mulanya dia menetap di Kerajaan Kutai, namun karena perkembangan agama Hindu di sana demikian pesat, dia akhirnya pergi ke selatan, ke Kerajaan Tanjung Pura yang merupakan sebuah kerajaan yang beragama Budha. Dengan bantuan Raja Tanjung Pura, dia mendirikan Bihara Bakula.
Dalam waktu relatif singkat, Bihara Bakula tumbuh menjadi pusat agama Budha di Tanjungnagara seperti halnya Kutai yang menjadi pusat agama Hindu di Tanjungnagara atau Sriwijaya yang menjadi pusat agama Budha di Suwarnadipa.
Pada masa kepemimpinan Biksu Dharmajana (749–775 M), terdapat dua orang tokoh dari Bihara Bakula yang telah mengasingkan diri dan menyepi di tempat lain, yaitu Biksu Singgang dan Biksu Giting. Pada masa mudanya kedua biksu itu dikenal sebagai biksu yang tidak mau terikat dengan peraturan Bihara Bakula sehingga memilih keluar dari biara.
Mereka mengembara di dunia persilatan dengan membawa perangai masing-masing yang sebenarnya tidak sesuai bagi seorang biksu. Akan tetapi karena sepak terjang mereka di dunia persilatan tidak menyalahi jalan kebenaran, pihak Bihara Bakula tidak ambil peduli lagi dengan perbuatan mereka, apalagi ilmu kedua biksu itu sangat tinggi, yang hanya mampu ditandingi oleh tokoh-tokoh teras Bihara Bakula, semakin membuat mereka disegani Bihara Bakula.
Kedua tokoh itu mendidik masing-masing seorang murid dari kalangan masyarakat biasa untuk diajari ilmu silat. Biksu Singgang bermurid Manta Bakalang (753–825 M) dan Biksu Giting bermurid Panggar Kalang (759–845 M).
Manta Bakalang berhasil mempelajari Pukulan Puncak Himalaya yang bersifat dingin dan Pukulan Setitik Neraka yang bersifat panas. Setelah memperoleh banyak pengalaman di dunia persilatan, dari kedua ilmu yang dikuasainya itu, dia menciptakan Ilmu Tenaga Dalam Enggang–Naga dan Jurus Tangan Kosong Enggang–Naga.
Setelah merasa cukup lama berkecimpung di dunia persilatan, Busu Manta Bakalang mendirikan Kindaikaji Anggang–Naga di Gunung Banyutawar yang terletak di kawasan Pegunungan Maratus di Tanjungnagara. Selama masa kepemimpinannya, dia lebih banyak menyepi untuk menciptakan ilmu-ilmu baru sehingga urusan perguruan lebih banyak ditangani oleh wakilnya yang bernama Busu Madang Alai. Hanya sewaktu-waktu dia keluar dari tempat penyepiannya untuk melihat keadaan perguruannya.
Sementara itu, Panggar Kalang yang lebih belakangan selesai menuntut ilmu dari gurunya, berhasil menguasai Ilmu Tenaga Dalam Penakluk Iblis  dan  Jurus Mandau Gerbang Nirwana. Dalam waktu singkat, Panggar Kalang menjadi salah seorang jago nomor satu di wilayah barat Tanjungnagara. Ketika mendengar bahwa Manta Bakalang yang masih terhitung kakak seperguruannya telah mendirikan sebuah perguruan di wilayah timur, dia pun akhirnya mendirikan sebuah perguruan di Gunung Niut, wilayah Tanjungnagara bagian barat. Perguruannya itu diberi nama Kindaikaji Talabang.
Murid-murid Kindaikaji Talabang  diajarkan ilmu ciptaan Busu Panggar Kalang, yaitu  Ilmu Tenaga Dalam Panggar Kalang  dan Jurus Mandau Talabang yang merupakan sempalan dari Ilmu Tenaga Dalam Penakluk Iblis dan Jurus Mandau Gerbang Nirwana.
Pada masa kepemimpinan Biksu Gurudharma (868–901 M), Bihara Bakula pernah berhutang budi pada seorang pendekar dari Kerajaan Kutai bernama Busu Bantang. Karena merasa berhutang budi itulah, Biksu Guru-dharma tidak mampu menolak ketika Busu Bantang bermaksud mengambil Kitab Matahari. Menurut asal usulnya, Busu Bantang memang masih ada hak terhadap Kitab Matahari karena kitab itu konon adalah milik kakek-buyutnya. Namun dalam suatu peristiwa yang tidak jelas, kitab tersebut berada di Bihara Bakula.
Biksu Gurudharma mengajukan jalan keluarnya, yaitu dengan mengajarkan isi Kitab Matahari kepada putra Busu Bantang, yaitu Lanjang dan Mahakam Suta. Busu Bantang menerima usul itu karena dia beranggapan bahwa tanpa mendapat bimbingan orang pandai, belum tentu kedua puteranya dapat menguasai ilmu-ilmu yang terdapat di dalam Kitab Matahari. Kedua putranya diangkat sebagai murid Bihara Bakula dan diajarkan ilmu-ilmu yang terkandung dalam Kitab Matahari. Dengan bimbingan Biksu Palang Dharma, adik seperguruan Biksu Gurudharma, Lanjang dan Mahakam Suta mempelajari Kitab Matahari dengan sungguh-sungguh. Apalagi Biksu Palang Dharma juga benar-benar serius mengajar dan melatih mereka.
Biksu Palang Dharma merupakan seorang tokoh Bihara Bakula yang khusus mempelajari Kaji Pitung Walas Narka (Ilmu Tujuh Belas Neraka), salah satu ilmu yang jarang dipelajari oleh murid Bihara Bakula. Dengan ditunjuknya dia sebagai pembimbing Lanjang dan Mahakam Suta, maka secara tidak langsung biksu itu dapat membandingkan kelebihan dan kekurangan Kaji Pitung Walas Narka dengan ilmu-ilmu yang terdapat dalam Kitab Matahari yang sama-sama mengajarkan kekuatan tenaga panas.
 Selama kurang lebih lima belas tahun, Mahakam Suta-lah yang mampu menguasai hampir seluruh isi Kitab Matahari. Dengan berbekal Ilmu-Ilmu Matahari, Mahakam Suta menjadi salah seorang pendekar paling tangguh di Tanjungnagara pada masanya. Atas anjuran kakaknya, Lanjang, dia mendirikan Kindaikaji Matanandau di Gunung Karakan, Tanjungnagara bagian timur.
Tersebutlah di Suwarnadipa terdapat sebuah perguruan besar yang bernama Perguruan Gunung Singgalang. Selama puluhan tahun perguruan ini mampu menjadi salah satu perguruan paling kuat di Suwarnadipa. Ketika akan terjadi pergantian ketua yang kesekian kalinya, terdapat dua calon kuat yang dianggap mampu menduduki kursi ketua Perguruan Gunung Singgalang, yaitu Sidabusu Alahan Rumbai atau Datuk Nan Panjuang dan Sidabusu Bungo Puti. 
Melihat ambisi adik seperguruannya yang begitu kuat untuk menduduki kursi ketua, Sidabusu Alahan Rumbai akhirnya mengalah. Dia tidak ingin perguruan yang telah dirintis dan dipertahankan dengan susah payah oleh para pendahulunya agar tetap eksis di dunia persilatan Suwarnadipa hancur hanya gara-gara perebutan kursi ketua. Untuk mententeramkan dan mengobati kekecewaan hatinya, dia pergi dari perguruan dan menyeberang ke Tanjungnagara.
Belasan tahun dia berpetualang dan berkecimpung di jagat pandikar Tanjungnagara. Bersama beberapa tokoh kelas satu, namanya tersohor sebagai salah satu pendekar pembela kebenaran di Tanjungnagara.  Ketika usianya sudah lebih setengah abad dan telah banyak memperoleh ilmu-ilmu baru, maka di Gunung Kalulong, wilayah Tanjungnagara bagian utara, dia mendirikan Kindaikaji Paramagiri.


BAB V
RIWAYAT BEBERAPA TOKOH DAN ILMU - ILMU
Konon pada jaman dahulu di Jambudipa terdapat sebuah kitab ilmu silat yang bernama Pratiwi Parwa atau Kitab Bumi.  Kitab ini menurut legenda merupakan  induk dari segala ilmu silat yang ada di Jambudipa, bahkan di dunia.  Tidak diketahui, siapakah yang menciptakan atau menyusun kitab tersebut.  Yang pasti kitab tersebut telah ada di Jambudipa sejak ribuan tahun yang lampau. Namun Pratiwi Parwa hampir  hanya menjadi sebuah dongeng karena tidak ada tokoh yang pernah melihat kitab tersebut secara langsung.
Kemudian muncullah dua orang tokoh sakti di Jambudipa yang menguasai ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Pratiwi Parwa, yaitu Resi  Rama Bhargawa dan Resi Yogadharaka.
Resi Rama Bhargawa yang merupakan seorang pertapa pengelana, menurut legenda telah berkeliling dunia untuk mencari pendekar yang mampu mengalahkannya. Namun ratusan tokoh sakti yang dia datangi tewas di tangannya, termasuk seorang raja besar dari kerajaan Maespati di Jambudipa yang bernama Maharaja Arjuna Sasrabahu –– yang konon merupakan titisan dari Dewa Wisnu.
Dalam pengembaraannya itu, Resi Rama Bhargawa menurunkan seluruh ilmunya kepada seorang pemuda yang bernama Widagdha.  Resi itu termakan ucapan Widagdha yang berjanji akan dapat mengalahkannya bila dia menurunkan seluruh ilmu-ilmunya kepada Widagdha. Resi Rama Bhargawa yang telah jenuh dan kesepian karena tidak ada lagi tokoh yang mampu mengalahkannya, mengabulkan permintaan Widagdha.
Pemuda itu diajari dengan sungguh-sungguh dengan maksud dapat menjadi seorang tokoh besar yang kelak mampu menandingi atau mengalahkannya. Namun cita-cita  Resi Rama Bhargawa tidak kesampaian. Beberapa tahun kemudian, dia tewas ditangan seorang satria dari kerajaan Ayodya di Jambudipa yang bernama Rama Wijaya.
Sedangkan Resi Yogadharaka lebih banyak menyepi untuk memperdalam ilmu-ilmu yang telah dikuasainya dan mencoba menyalin ilmu-ilmu Bumi yang telah dikuasainya itu. Resi Yogadharaka menurunkan ilmunya kepada muridnya yang bernama Resi  Witaraga.         
Puluhan tahun kemudian, Resi Witaraga bertemu dengan Widagdha yang telah menguasai ilmu-ilmu Bumi. Keduanya saling bertukar pikiran untuk melengkapi segala kekurangan yang masih ada pada ilmu-ilmu mereka yang berasal dari satu sumber itu.  Keduanya kemudian sepakat untuk menyatukan ilmu-ilmu mereka sehingga kemudian lengkaplah isi dari Pratiwi Parwa yang dulunya dianggap hanya sebuah dongeng itu. Pratiwi Parwa dibuat dua buah, satu dipegang oleh Resi Witaraga dan satunya oleh Widagdha.
Dari Pratiwi Parwa inilah kemudian disebarkan ilmu-ilmu silat yang terkandung di dalamnya ke seluruh Jambudipa.  Seiring dengan berjalannya waktu, ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Pratiwi Parwa akhirnya tidak mampu dikuasai oleh satu orang secara menyeluruh. Bagian per bagian ilmu dalam kitab itu akhirnya hanya mampu dikuasai oleh puluhan orang sehingga ilmu–ilmu dalam Pratiwi Parwa menjadi tercerai berai. Pratiwi Parwa lagi-lagi tidak diketahui siapa yang paling akhir memiliki atau menyimpannya.
Pratiwi Parwa terpecah-pecah menjadi puluhan kitab silat yang disusun sesuai dengan orang yang berhasil menguasai ilmu dalam Pratiwi Parwa seperti Tirta Parwa (Kitab Air), Pawaka Parwa (Kitab Api), Pawana Parwa (Kitab Angin), Gagana Parwa (Kitab Langit), Kartika Parwa (Kitab Bintang), Tri Pralayottama Parwa (Kitab Ilmu Tiga Penghancur Utama)  dan sebagainya.
Di Tiyungkuk  sempalan Pratiwi Parwa disebut Kiu Im - Yang Cin Keng (Kitab Ilmu Sembilan Rembulan dan Matahari) yang menjadi dasar terciptanya ilmu-ilmu hebat di sana seperti Ang See Ciang (Telapak Pasir Merah), Hek See Ciang (Telapak Pasir Hitam), Swat San Sin Ciang (Pukulan Sakti Gunung Salju), atau Hwee Sian Sin Kang (Tenaga Sakti Dewa Api).
Di Parsi [20] Pawaka Parwa dijadikan induk dari segala ilmu  silat dan selama ratusan tahun dimiliki oleh aliran pemuja api yang bernama Istana Dewa Api. Begitu juga di Jepang, Pawaka Parwa dijadikan kitab induk ilmu silat yang pertama kalinya diajarkan oleh Sekte Pemuja Matahari.
Dan menurut cerita yang ada,  salah satu dari sempalan Pratiwi Parwa, yaitu Tri Pralayottama Parwa, di bawa ke Nusantara oleh Biksu Dharmapala dan Biksu Dharmadhara. Biksu Dharmapala menetap di Suwarnadipa dan Biksu Dharmadhara menetap di Tanjungnagara  dan mendirikan Kuil Bakula.  Di Bihara Bakula inilah disimpan Tri Pralayottama Parwa yang memuat tiga buah ilmu sakti, yaitu Pukulan Penggoncang Dunia, Ilmu Tujuh Gempa dan Ilmu Meledakkan Dunia.
Pada masa kepemimpinan Biksu Gudadharma, tanpa sengaja kitab itu dicuri orang. Biksu Tejadharma, penanggungjawab Ruang Pustaka Bihara Bakula melakukan pencarian. Setelah melakukan penyelidikan selama beberapa waktu, dia dapat mencium jejak pencuri dan akhirnya menemukan buruannya itu. Pertarungan sengit terjadi, tetapi Biksu Tejadharma berhasil menewaskan pencuri. Namun ia sendiri terluka dalam yang amat parah.
Dalam usahanya pulang ke Bihara Bakula, ia bertemu dan ditolong oleh Panapih, seorang pendekar muda penuh bakat. Biksu itu menitipkan agar Tri Pralayottama Parwa dapat diantarkan ke Bihara Bakula. Panapih yang memiliki cita-cita ingin menjadi seorang pendekar berilmu tinggi bersedia mengantarkan kitab itu bila Biksu Tejadharma mengijinkan dia mempelajari kitab itu. Menyadari bahwa dirinya tidak mungkin sampai ke Bihara Bakula dan menguatirkan Tri Pralayottama Parwa akan jatuh ke tangan penjahat, Biksu Tejadharma menulis wasiat kepada ketuanya agar mengijinkan Panapih mempelajari Tri Pralayottama Parwa sebagai balas jasa atas kesediaan si pemuda mengantarkan Tri Pralayottama Parwa ke Bihara Bakula.
Setelah menulis surat wasiat, Biksu Tejadharma menghembuskan napas terakhirnya. Panapih membakar jenazah Biksu Tejadharma, lalu membawa abu jenazahnya ke Bihara Bakula. Biksu Gudadharma memenuhi wasiat Biksu Tejadharma, karena bagaimanapun dia menghargai kejujuran Panapih yang mau mengantarkan Tri Pralayottama Parwa dan abu Biksu Tejadharma. Namun karena melihat ambisi Panapih yang ingin menjagoi dunia persilatan, maka Biksu Gudadharma membuat siasat. Panapih diijinkan mempelajari isi Tri Pralayottama Parwa dengan syarat harus tinggal di Bihara Bakula dan tidak boleh terjun ke dunia persilatan sebelum menguasai Tri Pralayottama Parwa.
Panapih menyanggupi syarat itu dan diapun disuruh tinggal di Hutan Pengurung Iblis dengan alasan demi keamanan dirinya dan Tri Pralayottama Parwa. Panapih sebenarnya sadar, secara tidak langsung dia dikurung di hutan itu untuk mencegah dia melarikan diri, namun karena pikirannya hanya tercurah untuk mempelajari Tri Pralayottama Parwa, dia tidak mempedulikan hal itu, apalagi Biksu Gudadharma berjanji akan mengirim orang untuk melihat keadaannya setiap enam bulan sekali. Selain itu dia punya rencana lain, seandainya dia berhasil mempelajari Tri Pralayottama Parwa, dia pikir mungkin tidak akan sulit baginya untuk keluar dari Hutan Pengurung Iblis, walaupun dia tahu selama beberapa puluh tahun belum pernah terdengar ada orang yang berhasil lolos dari Hutan Pengurung Iblis ketika mencoba memasuki hutan itu dengan maksud mencuri beberapa pusaka Bihara Bakula yang terdapat di dalamnya.
Panapih menyadari merupakan suatu keberuntungan yang luar biasa dirinya diijinkan untuk mempelajari Tri Pralayottama Parwa, sebuah kitab pusaka sempalan Pratiwi Parwa yang dibawa pendiri Kuil Bakula dari Jambudipa. Secara tidak langsung — walaupun tanpa bimbingan guru dari Bihara Bakula — dengan mempelajari Tri Pralayottama Parwa, dia telah menjadi bagian dari Bihara Bakula, kalau tidak ingin disebut sebagai seorang murid. Dan sesungguhnya Panapih adalah seorang pemuda yang tinggi hati, diapun tidak ingin termakan jasa orang terlalu banyak.
Oleh karena itu dia bermaksud mempelajari Tri Pralayottama Parwa dengan tujuan untuk menciptakan sebuah ilmu baru yang bersumberkan pada kitab itu. Dengan demikian dia merasa tidak mempelajari mentah-mentah Tri Pralayottama Parwa. Di Hutan Pengurung Iblis itulah Panapih menyepi untuk mempelajari Tri Pralayottama Parwa dan berusaha menggabungkan ketiga ilmu dahsyat yang terdapat dalam Tri Pralayottama Parwa menjadi sebuah ilmu baru.  Selama 30 tahun dia mencurahkan seluruh bakat, tenaga dan pikirannya sehingga pada usianya yang ke–53, rampunglah ilmu “modifikasinya” itu dan diberinya nama Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat (Ilmu Inti Ledakan Berantai Pengkiamat Dunia) yang terdiri tujuh tingkat. Ilmu ini disebutnya juga Kaji Palabur Jagat (Ilmu Pelebur Dunia).
Setelah merasa ilmu ciptaannya rampung, Panapih pamit kepada ketua Bihara Bakula yang baru, Biksu Dharmayana (karena Biksu Gudadharma telah lama meninggal dunia) untuk mencoba ilmu barunya ke dunia persilatan. Biksu Dharmayana menyadari bahwa tidak mungkin dia mencegah Panapih karena busu itu telah memiliki kesaktian yang luar biasa. Dirinya dan tokoh Bihara Bakula yang lain belum tentu ada yang mampu menandingi kesaktian Panapih. Biksu Dharmayana hanya dapat berharap, seiring dengan pertambahan usianya, Panapih semakin matang dan ambisinya untuk merajai dunia persilatan berangsur-angsur sirna.
Dalam melakukan uji coba pertama kalinya di sebuah pulau kecil, Panapih hanya berani mencoba Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat sampai tingkat lima, sedangkan tingkat enam dan tujuh dia tidak berani mencobanya karena dia memperkirakan pengaruh ledakan yang ditimbulkan oleh tingkat enam dan tujuh itu kemungkinan dapat menghancurkan tubuhnya sendiri.
Sehingga untuk dapat mempergunakan Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat tingkat enam dan tujuh, dia terlebih dahulu harus menguasai ilmu sejenis Kaji Bukang Halimun dari Bihara Bakula atau ilmu lain yang hampir sama. Akan tetapi karena Kaji Bukang Halimun  merupakan ilmu kebatinan yang memerlukan kebersihan batin, panapih merasa tidak sanggup untuk mempelajarinya. Selain itu diapun tidak sudi untuk mengemis meminta ijin kepada Bihara Bakula untuk diperbolehkan mempelajari ilmu itu.
Kemudia Panapih lebih berkonsentrasi untuk menyempurnakan Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat. Ambisinya untuk merajai dunia persilatan semakin berkurang karena “kegilaannya” untuk menyempurnakan ilmu ciptaannya itu membuat dirinya lebih banyak menyepi. Akhirnya energi dahsyat Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat  dapat diubahnya menjadi seberkas sinar sebesar kepalan tangan yang dapat dilontarkan dengan kecepatan yang luar biasa. Ilmu ini kemudian sebutan lengkapnya adalah Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat (Ilmu Tujuh Sinar Inti Ledakan Berantai Pengkiamat Dunia), di mana urutannya adalah :
1.   Tantang Panambai (Tingkat Pertama) bersinar kuning.
2.   Tantang Kaduwa (Tingkat Kedua) bersinar kuning emas.
3.   Tantang Katalu (Tingkat Ketiga) bersinar  merah.
4.   Tantang Kampat (Tingkat Keempat) bersinar ungu.
5.   Tantang Kalima (Tingkat Kelima) atau Tantang Panggantar Jagat (Tingkat Penggoncang Dunia) bersinar hijau muda.
6.   Tantang Kanam (Tingkat Keenam) atau Tantang Parangat Jagat (Tingkat Peretak Dunia) bersinar biru muda.
7.   Tantang Kapitu (Tingkat Ketujuh) atau Tantang Pampihan (Tingkat Terakhir) atau Tantang Panyabak Lapikjagat (Tingkat Pencerai Berai Bumi)  bersinar putih perak.
Dalam pada itu, tersebutlah Biksu Adidharma, salah seorang sesepuh Bihara Bakula yang telah menyepi dan mengangkat seorang murid bernama Halang Pananding. Pemuda ini sangat berbakat dan pandai dalam hal ilmu silat dan kebatinan, sehingga dalam usianya yang masih muda sudah mampu menguasai Kaji Bukang Halimun yang memerlukan kebersihan batin untuk  mempelajari dan mencapainya. Melihat bakatnya ini, Biksu Adidharma juga mengajarkan teori Kaji Pamuangan Jagat Barataan (Ilmu Penetralan Alam Semesta) yang merupakan sebuah ilmu kebatinan tingkat tinggi di dunia.
Dalam pengembaraannya, Halang Pananding bertemu dengan Panapih. Mengetahui pemuda itu menguasai Kaji Bukang Halimun, maka Halang Pananding hendak dijadikan murid olehnya dengan tujuan agar dia dapat mengetahui kedahsyatan Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat Tingkat Enam dan Tujuh. Akan tetapi pemuda itu menolak karena berprinsip selama hidupnya hanya ada satu guru, yaitu Biksu Adidharma. Halang Pananding akhirnya dijadikan anak angkat oleh Panapih. Pemuda itu diajarinya Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat dan dalam  waktu singkat Halang Pananding mampu menguasai Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat.
Halang Pananding diminta mencoba tingkat keenam dan ketujuh Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat.  Kedua orang itu segera pergi untuk mencari sebuah sasaran yang cocok untuk dijadikan uji coba Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat. Mereka akhirnya berlayar ke arah selatan Tanjungnagara, ke tengah lautan untuk mencari sebuah pulau kecil. Mereka menemukan sebuah pulau kecil dan setelah diperiksa pulau tersebut tidak ada penghuninya, Panapih menyuruh Halang Pananding melancarkan Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat Tantang Parangat Jagat dan Tantang Panyabak Lapikjagat.
Namun terlebih dahulu Panapih menyingkir ke sebuah pulau lain yang cukup jauh dari lokasi sasaran Halang Pananding. Ketika Halang Pananding menghantam pulau kecil itu dengan tingkat keenam, maka pulau itu langsung  berantakan dan begitu ditambah dengan tingkat ketujuh, pulau itu hancur menjadi serpihan-serpihan dan lenyap dari permukaan laut. Lautan bergelombang dahsyat berakibat timbulnya tsunami, menerpa pulau yang digunakan Panapih untuk berlindung. Untung pendekar sakti ini dapat bertahan dengan mengerahkan segenap ilmunya agar jangan ikut tersapu ke tengah lautan. Halang Pananding sendiri tidak mengalami apa-apa karena dia telah menggunakan Kaji Bukang Halimun.
Sadar bahwa dirinya tidak akan mungkin dapat menggunakan tingkat enam dan tujuh Kaji Hinti Latusan Titir Parahai Jagat  kalau tidak memiliki ilmu pelindung tubuh sejenis Kaji Bukang Halimun, maka Panapih berusaha menciptakan ilmu baru yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat. Dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya, dia kembali menyepi. Setelah menyepi selama tujuh tahun, barulah dia dapat menciptakan Kaji Bukang Hintan (Ilmu Tubuh Intan) yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat.
Akan halnya Halang Pananding, pemuda ini menjadi jago muda tanpa tanding di tanah Tanjungnagara. Banyak tokoh-tokoh muda dan tua yang kagum akan keberuntungan dan kepandaiannya, karena dalam usia muda mampu menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi yang sebenarnya membutuhkan waktu lama untuk menguasainya. Tapi dalam usianya yang masih muda, dia mengundurkan diri dari gelanggang dunia persilatan karena masalah asmara. Dia terlibat dalam masalah cinta segitiga. Gadis yang dicintainya, Diyang Maranti  ternyata lebih memilih kepada kakak kandungnya, Tingang Pananding, seorang sasterawan yang tidak pandai ilmu silat.
Sementara itu, sekitar abad ke–7 M, di Baghdad hiduplah seorang jenderal sakti bernama Salahuddin bin Hambali. Tokoh ini  turut serta dalam penaklukan Syria Raya dan Persia (dalam perang Yarmuk dan Qadisyah) pada tahun 636 M. Karena berselisih dengan atasannya, dia mundur dari militer dan mengasingkan diri di sebuah tempat terpencil di wilayah negeri Baghdad.
Dalam kesunyiannya, dia berhasil menciptakan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib yang terdiri dari 20 jurus, yaitu :
1.   Cahaya Malaikat ke Penjuru Dunia                                                   
2.   Malaikat dari Lubuk Neraka
3.   Kemilau Malaikat Pudarkan Mentari
4.   Tenaga Malaikat Tujuh Neraka (bersifat keras dan panas)
5.   Tenaga malaikat Tujuh Kahyangan (bersifat lembut dan dingin)
6.   Malaikat Menjemput Roh
7.   Malaikat Curahkan Hujan
8.   Perbawa Sang Malaikat Maut
9.   Bala Malaikat Turun ke Mayapada
10. Malaikat Menutup Gerbang Tujuh Kahyangan
11. Sangkakala Malaikat Kiamatkan Dunia
12. Sepuluh Malaikat Utama
13. Malaikat Sakti Membalik Tujuh Lapis Bumi (sejenis ilmu mengembalikan / membalik  serangan lawan)
14. Malaikat Membuka Tujuh Lapis Langit (sejenis Kaji Bukang Halimun dan penyerap tenaga lawan).
15. Malaikat Maut Pancarkan Maut
16. Penghulu Malaikat Turunkan Wahyu
17. Malaikat Maut Mencabut Nyawa Iblis
18. Malaikat Maut Mencabut Nyawa Malaikat
19. Malaikat–Malaikat Penjaga Persemayaman
20. Penghulu Malaikat Heningkan Semesta
Ilmu tersebut diturunkan kepada buyutnya, Walid bin Abbas bin Thalib bin Salahuddin. Pada usianya yang ke–19 tahun, Walid berhasil menguasai Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat 20. Pada perang Talas yang terjadi pada bulan Juli 751 M, antara gabungan tentara Arab dan Turki melawan tentara Tiyungkuk pimpinan Panglima Besar Gao Xianzhi, Walid bin Abbas yang sudah berusia lanjut ditugaskan menghadapi jago–jago Tiyungkuk yang mahir Ilmu Telapak Sakti Sang Budha. Secara kontroversial Walid bin Abbas berhasil dengan gemilang menaklukkan tiga jago utama Tiyungkuk  yang menguasai ilmu paling tinggi di Timur Jauh itu.
Keperkasaan Walid bin Abbas diketahui Jar’un bin Kasab, cucu murid dari Su’ban bin Badad si pencipta Ilmu Penggoda Iblis Neraka. Anak Jar’un yang bernama Shoraqah, disuruh mencuri  Kitab Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib. Akan tetapi, setelah berhasil mencuri kitab itu, Shoraqah berniat menguasainya sendiri dan untuk menghindari kejaran ayahnya, dia lari ke Jambudipa. Jar’un marah bukan main. Setelah mencari anaknya itu selama dua tahun, dia berhasil menemukannya. Ayah dan anak itu bertempur memperebutkan Kitab Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib.  Shoraqah tewas, Jar’un sendiri jatuh ke jurang hingga mengalami kelumpuhan.
Mayat Shoraqah ditemukan oleh dua orang pesilat dari Melayu yang sedang menuntut ilmu di Jambudipa, yaitu Sidabusu Karang Sambilan  dari Suwarnadipa dan Hang Sempana dari Samananjung Malaya  (Semenanjung Malaysia). Kitab Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib mereka bawa ke Baghdad untuk diserahkan kepada Walid bin Abbas. Sebagai tanda terima kasihnya, Walid mengajarkan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib kepada keduanya.  Sebelum pulang,  keduanya diikat sumpah agar mengajarkan ilmu itu hanya pada seorang murid dalam satu generasi.
Puluhan tahun kemudian, keturunan Sidabusu Karang Sambilan yang bernama Sidabusu Karang Bahari atau Datuk Maninggi Basar berhasil menguasai Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat kesebelas sehingga membuatnya menjadi jago tanpa tanding di Suwarnadipa dan Jawadipa. Dia menyeberang ke Tanjungnagara dan mengalahkan puluhan tokoh sakti di sana.
Ketika mengetahui bahwa Halang Pananding memiliki kesaktian yang amat tinggi di Tanjungnagara, Sidabusu Karang Bahari mencari pemuda itu. Padahal pemuda itu telah lama menyepi. Dengan segala tipu daya dan muslihat, akhirnya Sidabusu Karang Bahari dapat memaksa Halang pananding muncul untuk memenuhi tantangannya. Pertempuran mereka sangatlah dahsyat sehingga tanpa disadari sampai ke sebuah pulau di utara Jawadipa bagian barat yang bernama Pulau Wanara. Pertempuran mereka yang amat seru, membuat pulau itu hancur berkeping-keping akibat bentrokan Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat  tingkat tujuh dengan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib tingkat sebelas. Pulau Wanara yang pecah dan menjadi gugusan pulau-pulau kecil itu dikemudian hari disebut penduduk Jawadipa dengan nama Kanusan Sewu atau Kepulauan Seribu.
Melihat ketangguhan lawan masing-masing, kedua pemuda itu saling menaruh kagum dan simpati. Keduanya mengikat tali persahabatan dan saling mendiskusikan tentang ilmu silat. Berkat bantuan Halang Pananding, Karang  Bahari dapat menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat tiga belas. Sebagai rasa terima kasihnya, Karang Bahari menyerahkan salinan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib kepada Halang Pananding agar pemuda itu dapat membantunya memecahkan ketujuh tingkat terakhirnya. Sebagai imbalannya Halang Pananding diperkenankan untuk mengajarkan ilmu itu kepada salah seorang muridnya bila kelak dia mengambil murid.
Karang Bahari berjanji akan datang lagi ke Tanjungnagara untuk mengetahui, siapa di antara mereka berdua yang dapat memecahkan tujuh tingkat terakhir Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib setelah tujuh tahun kemudian.
Tanpa sengaja, Halang Pananding menemukan Istana Naga Perak, tempat kediaman mendiang Busu Barung Panyambar si Naga Perak. Dia mempelajari Ilmu Naga Perak peninggalan busu itu. Kelak, tepat pada usianya yang ke–40 tahun, dia berhasil menguasai ilmu tersebut sehingga tubuh dan wajahnya tetap awet muda seperti orang yang berumur 40 tahun saja walau usianya nanti mencapai ratusan tahun.
Di Istana Naga Perak inilah  dia menyepi dan berhasil menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib sampai tingkat ke–15. Ilmu ini dapat ditembusnya setelah dia terlebih dahulu dapat memecahkan rahasia ilmu kebatinan Kaji Pamuangan Jagat Barataan.  Akan tetapi, setelah mencapai tingkat ke–15 itu, walaupun telah mencapai pencerahan batin,  Halang  Pananding tidak mampu lagi menembus tingkat berikutnya. Kalau dia paksakan, maka pikirannya akan kacau dan tenaga dalamnya akan bergolak tidak  terkendali. Akhirnya dia menghentikan usahanya untuk menembus tingkat ke–16 Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib.
Tujuh tahun kemudian, Sidabusu Karang Bahari datang, ternyata lelaki itu tidak mampu menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib setingkatpun! Sehingga untuk mencapai tingkat ke–15, dia harus dibantu dan dibimbing oleh Halang Pananding.
Terdorong oleh nafsunya untuk menembus tingkat 16, Karang Bahari berlatih keras tanpa memperdulikan resiko yang mungkin akan dialaminya yang dalam istilah dunia persilatan disebut sasat urukan.[21] Baru mencapai setengah jalan, Karang Bahari mengalami hal itu. Ia terluka parah. Halang Pananding hanya mampu menolong sahabatnya itu terhindar dari bahaya kematian, tetapi tidak mampu menyelamatkannya dari cacat seumur hidup. Tenaga dalam Karang Bahari musnah total!  Tokoh sakti ini tidak mau pulang ke Suwarnadipa karena merasa malu dengan keluarganya dan tokoh-tokoh di sana. Selain itu kesombongannya selama ini pasti membuatnya banyak memiliki musuh sehingga bagaimana dia mampu menjaga diri bila dia terjun ke dunia persilatan.
Karang Bahari memilih menetap di Istana Naga Perak. Akhirnya dia meninggal dalam usia sekitar 40 tahun. Selama menetap di sana, dia mempelajari kitab-kitab yang ada di Istana Naga Perak dan menciptakan ilmu-ilmu baru berdasarkan inspirasinya.
Melihat sahabatnya meninggal dunia akibat memaksa diri untuk melatih dan menembus tingkat selanjutnya dari Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib, Halang Pananding  merasa tertantang dan terpanggil jiwanya untuk pergi ke Baghdad menemui keturunan Walid bin Abbas untuk minta petunjuk agar dapat menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib tingkat ke–16 sampai ke–20.
Kebetulan di Parsi baru saja usai pertarungan sengit antara Kadir bin Husin, keturunan dari Walid bin Abbas melawan Sani bin Syam yang merupakan cucu murid keturunan dari Su’ban bin Badad si pencipta Ilmu Penggoda Iblis Neraka. Pertarungan yang amat seru dan menarik perhatian banyak tokoh sakti dari berbagai mancanegara itu dimenangkan oleh Kadir.
Konon  ratusan tahun yang silam, Su’ban bin Badad yang berasal dari Parsi itu pernah dikalahkan Jenderal Salahuddin Bin Hambali dalam perang Qadisyah.  Su’ban yang merupakan jago nomor satu di Parsi itu sangat terpukul akan kekalahannya. Setelah peristiwa itu, dia tidak berani lagi muncul ke dunia persilatan karena malu. Dia mengasingkan diri untuk menciptakan sebuah ilmu yang digunakan untuk membalas kekalahannya kepada Salahuddin bin Hambali.  Selama puluhan tahun dia menyepi dan terciptalah 13 tingkat Ilmu Penggoda Iblis Neraka :
01. Godaan Iblis Pembuai Sukma
02. Api Murni Tubuh Iblis
03. Bisikan Iblis Penggoyah Tekad
04. Surga Dunia Tipuan Iblis
05. Iblis Merasuk Manusia
06. Goda Iblis Kobarkan Angkara
07. Taburan Angkara Sang Iblis
08. Iblis Durhaka Menolak Sembah
09. Kobaran Nafsu Selaksa Iblis
10. Kesesatan Iblis Kunci Tobat
11. Tenaga Iblis dan Semesta Setan
12. Mendung Angkara Sang Iblis
13. Hawa Penyesatan Iblis Selubungi Dunia
Setelah berhasil menguasai ilmu itu, Su’ban mencari Salahuddin  untuk membalas dendam. Namun tidak disangkanya, musuhnya itu ternyata juga menciptakan ilmu dahsyat yang mampu mengalahkannya kembali. Kekalahannya yang kedua ini membuat Su’ban lumpuh. Sejak saat itulah murid–murid Su’ban bersumpah akan membunuh setiap orang yang menguasai Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib untuk membalaskan dendam guru mereka.
Halang Pananding bertemu Kadir di negeri Parsi itu. Kadir mengajak Halang Pananding ke Baghdad. Setelah mendapat penjelasan dari Kadir, barulah Halang Pananding paham, kenapa dia tidak mampu lagi menembus Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib tingkat ke–16  sampai  ke–20.  Ternyata disebabkan pandangan dasar mereka yang berbeda, di mana Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib diciptakan berdasarkan pandangan tokohnya yang beragama Islam, sedangkan Halang Pananding berusaha memahaminya berdasarkan cara pikir agamanya, yaitu Budha.
Setelah berada di Baghdad selama dua tahun, di Jambudipa selama tiga tahun, di Tiyungkuk selama lima tahun, Halang Pananding kembali ke Nusantara. Di Suwarnadipa dia menurunkan Ilmu Sejati Sang Malaikat Gaib kepada keturunan mendiang Karang Bahari yang bernama Karang Bagana. Setelah berada di sana selama sepuluh tahun, dia kembali ke Tanjungnagara dan menyepi untuk merenungkan pengalaman-pengalamannya selama mengembara di mancanegara.
Pada usianya yang ke–75 tahun, Halang Pananding muncul kembali ke dunia persilatan dan membuat tokoh-tokoh tua yang seangkatan atau pun di bawahnya yang pernah mengenal dirinya terkejut melihat fisiknya yang tidak mengalami perubahan seperti orang yang berumur 40 tahunan saja. Orang–orang persilatan segera menjulukinya Datu  Landang Wayah Tunggang Angin yang secara harfiah diartikan Orang Tua Panjang Umur yang Mengendarai Angin karena kesaktian dan umurnya yang panjang itu (965–1148 M).
Datu Landang Wayah mengambil dua orang murid untuk mewarisi ilmu–ilmunya, yaitu Gantar Banua (1027–1179 M) dan Santang Aran (1029–1106 M). Keduanya  diajari ilmu-ilmu seperti : Pahampul Manunggang Angin (Ilmu Ringan Tubuh Mengendarai Angin), Kaji Bukang Halimun, Kaji Bukang Hintan, Kaji Pancar Pitu Hinti Latusan Titir Parahai Jagat, Kaji Hastapuang Jagat Hinip (Ilmu Tangan Kosong Dunia Hening), Kaji Mandau Pamacah Humbaya (Ilmu Mandau Pemecah Bayangan) dan Pupuhan Pamacul Karantika (Pukulan Perontok Bintang).
Gantar Banua setelah terjun ke dunia persilatan mendapat julukan si Penggoncang Dunia karena sepak terjangnya yang tidak kenal ampun pada golongan hitam. Dalam pengembaraannya, pemuda ini mendapat Daun Te-ratai Emas sehingga selain tenaga dalamnya bertambah tinggi, usianya juga jadi panjang. Wajahnya seperti sang guru — tetap seperti orang berusia 40 tahunan — walaupun, kelak, usianya lebih dari seratus tahun.
Gantar Banua tidak mampu menguasai Kaji Bukang Halimun dan Kaji Bukang Hintan sehingga — walaupun mampu menguasai Kaji Pitu Pancar Hinti Latusan Titir Parahai Jagat sampai tingkat tujuh — hanya berani menggunakan Kaji Pitu Pancar Hinti Latusan Titir Parahai Jagat  sampai tingkat lima.
Sementara Santang Aran yang selalu aktif di dunia persilatan dalam menegakan kebenaran dan membasmi kebatilan, di dunia persilatan mendapat julukan Kucing Emas Berbulu Perak karena mendapatkan Ilmu Kucing Emas Berbulu Perak dari Busu Bayan Bagak Martaga seorang pendekar tua yang berilmu tinggi.
Pemuda ini dapat menguasai Kaji Bukang Halimun sehingga dapat menggunakan Kaji Pitu Pancar Hinti Latusan Titir Parahai Jagat yang dikuasainya sampai tingkat akhir.
Tujuh puluh lima tahun setelah mengambil murid Gantar Banua dan Santang Aran, Datu Landang Wayah mengambil Wahan Ayungan Jati Habulan atau Mamang Anum atau Ambak Banar (1107–1152 M), putera  keenam dari Busu Mamang Sidi Jati Habulan dengan Sitawaning sebagai muridnya. Sitawaning, ibu Ambak Banar  merupakan keturunan dari mendiang Tingang Pananding, kakak kandung Datu Landang Wayah. Setelah Ambak Banar, dua tahun kemudian, dia mengambil dua orang murid lagi, yaitu Karuwan dan Sungkayan.
Ketiga pemuda ini diajari oleh Datu Landang Wayah dengan ilmu-ilmu yang sama. Selain itu diberi juga ilmu khusus yang disesuaikan dengan sifat, bakat dan kemampuan mereka.
Ambak Banar yang kelihatan penyabar diajari Kaji Kancing Sarik (Ilmu Penutup Kemarahan). Kelak ilmu inilah yang melahirkan Kaji Sagara Kasarikan (Ilmu Lautan Kemurkaan) dalam diri Ambak Banar. Karuwan diajarkan Kaji Mangumpul Banyubaku Salawasan (Ilmu Menumpuk Es Abadi) yang mampu membekukan sebuah telaga kecil dalam beberapa detik. Sedangkan Sungkayan yang perkasa mendapatkan Kaji Bukang Hintan warisan dari mendiang Panapih, ayah angkat Datu Landang Wayah.
Dalam usia yang masih muda, yaitu 16 tahun, Ambak Banar sudah turun gunung mencari pengalaman. Ambak Banar merupakan seorang pemuda yang haus akan ilmu kesaktian sehingga selalu tekun berlatih dan merenung. Dia bercita-cita dapat mendirikan aliran baru dalam jagat pandikar Tanjungnagara serta menciptakan ilmu-ilmu baru lewat tangannya sendiri.
Pada usianya yang ke–21, dia berhasil menciptakan  Hiat Naga Umbang (Jurus Naga Umbang) yang terdiri dari 18 jurus. Kelak setelah mengalami pencerahan batin, dia menggenapkan jurus tersebut sampai 40 jurus.
Kemudian lewat pengalaman gaibnya, tanpa sengaja dia berhasil meyakinkan Kaji Sagara Kasarikan, di mana apabila kemarahannya tidak dapat ditahan lagi, akan menimbulkan tenaga dahsyat dalam dirinya yang kadang-kadang sukar dikendalikan dan harus disalurkan keluar untuk dibuang. Konon keberhasilannya menguasai ilmu ini tidak lepas dari bantuan ibunya. Ibu Ambak Banar, Sitawaning,  yang dikenal sebagai seorang wanita penyabar, bertolak belakang dengan suaminya, ayah Ambak Banar yang pemarah. Dengan bantuan ibunya, dia berhasil menyelami inti dari kesabaran, pemaaf dan menahan hawa kemarahan yang dirubah menjadi energi yang luar biasa besarnya.
Pada usianya yang ke–25, Ambak Banar mulai terbuka pikirannya. Suatu ketika dia kehujanan karena tidak ada tempat berteduh. Terbetiklah dalam pikirannya untuk memahami dan menyelami sifat-sifat air. Dengan membersihkan hati dan pikiran, dia mulai menciptakan jurus-jurus air. Dalam pengembaraannya, dia terus merenung dan mencipta.
Sekitar tahun 1135 M, dia menghancurkan Perguruan Halilintar di Hutan Sabak Batu di daerah Sungai Batu Banawa[22].  Busu  Mahayau,  ketua Perguruan itu  ditewaskan bersama 37 orang pengikutnya. Peristiwa ini amat menggemparkan orang dan membuat nama Ambak Banar segera dikenal luas dan membuatnya dijuluki si Naga Pahinipan atau si Naga Penyembunyi. Di bekas markas Perguruan Halilintar itulah dia mendirikan Kindaikaji Halimun (Perguruan Kabut). Untuk pertama kalinya dia mengambil 17 orang remaja berbakat yatim piatu yang berumur rata-rata 8 tahun untuk diajari ilmu–ilmu  Kajigancang Banyu Jagat (Tenaga Dalam Air Dunia) dan Hiat Naga Umbang.
Pada usianya yang ke–35, Ambak Banar berhasil merampungkan Wawacan Banyu (Kitab Air)  yang  memuat ilmu-ilmu silat yang diciptakan dan disusun berdasarkan pada sifat–sifat air. Isi kitab itu terus dikembangkan sampai akhir hayatnya.
Dalam waktu singkat terjadilah polemik di dunia persilatan. Ambak Banar dituduh menjiplak bahkan memiliki Tirta Parwa yang telah lama lenyap dari Jambudipa. Tirta Parwa merupakan kitab sempalan dari Pratiwi Parwa yang amat terkenal di dunia, khususnya di belahan dunia timur sebagai kitab yang berisikan dasar-dasar ilmu beladiri di dunia. Jago-jago dari Jambudipa berdatangan untuk mengambil Tirta Parwa, seperti Jaladi Bhirawa, Tirtasuta, Jaladhara dan Jalageni.
Kemudian berdatangan pendekar-pendekar dari mancanegara lainnya seperti Sanjani dari Parsi, Suma Hai Liong dari Tiyungkuk, Prahasta dari Silan (Srilanka), Momotaro dari  Jepang, Hang Segara dari Semenanjung Malaya, Datuk Raja Di Langit dari Suwarnadipa, dan Ki Buyut Banyu Biru dari Jawadipa yang tujuannya juga untuk mendapatkan Tirta Parwa.
      Di hadapan tokoh-tokoh besar itu Ambak Banar mencoba menjelaskan tentang Wawacan Banyu yang dia ciptakan.  Mereka berdebat saling mengemukakan argumentasi masing–masing. Lewat penjelasan yang panjang lebar, semua tokoh-tokoh mancanegara itu akhirnya dapat mengerti, bahwa Wawacan Banyu  memang ciptaan sejati Ambak Banar walaupun banyak sekali kemiripannya dengan Tirta Parwa.
Mereka akhirnya memaklumi sebuah inti dari persoalan itu bahwa  dari sumber yang sama, akan menghasilkan sesuatu yang sama pula, walaupun bentuk atau namanya yang berbeda, sumur, sungai, laut, kolam, danau memiliki sumber air yang sama, yang membuat beda hanyalah tempat, sebutan, kualitas dan kuantitas serta keadaan airnya.
Para tokoh mancanegara itu kemudian saling berdiskusi tentang ilmu silat dan mengadakan pertandingan persahabatan untuk mengetahui sejauh mana kehebatan  ilmu-ilmu yang terkandung dalam Wawacan Banyu.  Pertarungan mereka merupakan hal yang amat menarik bagi kaum persilatan sehingga berbondong-bondong mereka datang untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Konon mereka yang menyaksikan pertandingan, sebagian besar dapat mengambil manfaatnya sehingga ilmu silat mereka bertambah tinggi.
Ambak Banar  meninggal  dalam  usia  yang  relatif muda, yaitu  pada umur 45 tahun dengan meninggalkan dua orang anak dari hasil perkawinannya dengan Diyang Kaliyan, yaitu Halang Pananding Jati Habulan atau Santang Aran yang berumur 15 tahun dan Sira Manguntur yang berusia 13 tahun. Kelak setelah menguasai sebagian Kitab Air, Halang Pananding inilah yang menciptakan Hiat Mandau Lapik Walu (Jurus Mandau Delapan Dasar) dan Hiat Naga Sabujurnya (Jurus Naga Sejati).
Selama beberapa periode, Kindaikaji Halimun mampu bersaing dengan tujuh aliran besar silat lainnya di Tanjungnagara dalam menanamkan pengaruhnya. Walaupun keberadaannya di dunia persilatan selalu mengalami pasang surut karena sangat minim akan jago-jago tangguh. Hal ini  disebabkan ilmu-ilmu silat perguruan itu yang sulit dipelajari, namun sekali lahir jago tangguh, maka namanya langsung akan menjulang di jagat pandikar Tanjungnagara dan sekaligus mengangkat kembali nama Kindaikaji Halimun.


[1]       Pulau Kalimantan.
[2]       Ketiganya berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya Pulau Intan.
[3]       Diidentikkan dengan nama sebuah kerajaan besar di  Kalimantan sekitar abad ke–6 M  di sekitar Sungai Tabalong, Tanjung, Kalimantan Selatan.
[4]       Sekarang wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Pada jaman dahulu, wilayah Kalimantan Selatan diperkirakan sebuah tanjung, di mana dataran rendah yang terdapat di sebelah barat dan timur Pegunungan Maratus (daerah Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Utara) masih berupa teluk besar.
[5]       Piagam batu berbentuk tugu.
[6]       Diperkirakan terletak di sekitar Muara Kaman, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
[7]       Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan  sekarang.
[8]       Sistem ajaran gaib yang diperkembangkan Hinduisme dengan maksud membebaskan orang dari dunia khayalan seperti yang dipahami dengan pancaindera
[9]       Golongan pendeta Budha yang berada di masyarakat
[10]     Golongan resi atau pertapa yang merupakan kasta tertinggi dalam agama Hindu.
[11]     Ketiga kata itu berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu :  Sang Hyang, Dewa, Bhatara.
[12]     Pimpinan Rohani suku Dayak yang memiliki fungsi sebagai Pendeta dan Paranormal.
[13]     Ikan Tembakul biasanya suka melompat-lompat pada batang yang hanyut di sungai, berpindah dari satu batang ke batang yang lain. Ini menjadi kiasan kepada orang yang tidak memiliki pendirian tetap.
[14]     Bertanding mengadu kepandaian atau kesaktian untuk menentukan siapa yang paling hebat atau jago.
[15]     Pedang khas suku Dayak di Kalimantan.
[16]     Panggilan kepada lelaki pertengahan umur.
[17]     Buyut, namun dapat juga diartikan sebagai panggilan kehormatan kepada seseorang atau yang dituakan dalam masyarakat.
[18]     Daerah Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang.
[19]     Sejenis logam berwarna kuning yang dihasilkan oleh serangga penyegat untuk mengasah antupnya. Bentuknya amat kecil dan sangat sulit dicari. Besi ini biasanya digunakan untuk penjaga diri oleh sebagian masyarakat.
[20]     Persia, sebutan untuk negeri Iran pada jaman dahulu.
[21]     Tersesat sewaktu latihan yang dapat menimbulkan kematian atau cacat.
[22]     Daerah Pagat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar