Senin, 11 Maret 2013

Sang Ketua


SANG KETUA

(Versi Bahasa Indonesia Cerpen Hahulu)
SEMENJAK terpilih sebagai Hahulu pandikar cakang paksina,[1]  Busu Biawan mulai kemaruk kekuasaan dan harta. Dia membentuk pasukan talabang jaba yang terdiri dari pendekar-pendekar yang loyal kepadanya untuk memberantas kejahatan. Dana operasional untuk memberantas kejahatan diperoleh dari kerajaan-kerajaan yang berada di Hujung Tanah[2] seperti Nagara Dipa, Parama Artapura, Muhara Takus dan Tanah Bumbu. Dana yang dikucurkan para raja membuat dia dan anak buahnya kaya raya.
Para raja di Hujung Tanah memang tidak segan-segan mengucurkan dana yang diminta Busu Biawan karena merasa lebih praktis kalau masalah kejahatan yang dilakukan oleh buhan hirang (golongan hitam) ditumpas oleh buhan putih (golongan putih), seteru abadi mereka di jagat pandikar (dunia persilatan). Kalau urusan kejahatan buhan hirang ditumpas oleh kerajaan, para raja kuatir urusan akan berkepanjangan. Buhan hirang tentu akan menaruh dendam pada pihak kerajaan, dan sewaktu-waktu nyawa para raja atau keluarga mereka pasti akan terancam.
Kalau urusan menumpas kejahatan itu dilakukan oleh buhan pandikar sendiri, para raja tidak peduli atau ambil pusing kalau balas membalas terjadi di antara mereka.
Namun sebagai konsekuensinya, rakyat kerajaanlah yang menanggung akibatnya. Dana untuk kegiatan Busu Biawan diambil para raja dari hasil menaikkan pajak dan upeti dalam negeri masing-masing.

Panting Kalang, seorang pendekar muda yang baru terjun ke jagat pandikar menjadi prihatin melihat keadaan ini. “Sebagai seorang pandikar dari buhan putih, menegakkan keadilan dan kebenaran adalah kewajiban tanpa pamrih,” batin pemuda itu. “Kalau niat menegakkan keadilan dan kebenaran tujuannya untuk mencari kekuasaan atau kekayaan, sungguh tidak pantas disebut pandikar.”
Panting Kalang menemui Patih Ampat, para paman-seperguruannya di kotaraja Nagara Dipa. Patih Ampat memang sudah melihat ketidakberesan yang dilakukan Busu Biawan. “Waktu dia masih menjabat sebagai hahulu Kindaikaji Karantika Panjarau (Perguruan Bintang Terang) dedikasinya yang tanpa pamrih dalam menumpas kejahatan sangat dipuji orang,” ujar Patih Pambalah Batung.
“Tapi setelah dirinya terpilih menjadi hahulu cakang, ternyata kekuasaan yang lebih tinggi dan harta membuatnya lupa diri. Yang dia pikirkan sekarang harta melulu....!”
“Ya..., dia tidak tahu betapa rakyat di Hujung Tanah menjadi menderita dan terbebani karena ulahnya itu,” menyahut Patih Garuntung Waluh.
“Itulah salah satu sifat lemah manusia,” tambah Patih Garuntung Manau. “Mereka terkadang sulit untuk lepas dari kaji tampuli atau aji mumpung. Seperti peribahasa, kaya Bagung jadi raja.... Mumpung memiliki kekuasaan, manfaatkan kekuasaan itu sebaik-baiknya sebelum terlepas atau diambil orang.”
“Kenapa Paman sekalian tidak mengusulkan kepada Baginda untuk menghentikan kucuran dana kepada Busu Biawan? Ulun kira kalau Nagara Dipa berani menghentikan bantuan, kerajaan lain di Hujung Tanah akan mengikutinya,” kata Panting Kalang.
“Tidak semudah itu,” kata Patih Garuntung Waluh. “Busu Biawan telah memiliki jaringan yang kuat dengan belasan kindaikaji.  Seandainya Baginda Suryanata menghentikan kucuran dana pada Busu Biawan, bisa-bisa Nagara Dipa akan menjadi sarang pelarian para penjahat buhan hirang.”
“Maksud Paman?”
“Busu Biawan tentu akan berusaha mengamankan kerajaan yang masih menyokongnya dan para pelaku kejahatan akan ‘digiringnya’  untuk mengacau di kerajaan yang menghentikan kerjasama dengannya.”
“Kalau begitu posisi raja sekarang seperti duduk di punggung macan,” kata Panting Kalang. “Turun salah, tetap duduk juga salah..., Hem, ulun kira yang dapat menghentikan ulah Busu Biawan hanyalah buhan pandikar sendiri.
“Tentu saja. Yang memilih Busu Biawan sebagai hahulu cakang adalah buhan putih, maka yang harus melengserkannya juga harus buhan putih,” kata Patih Garuntung Waluh. “Kukira para pendekar buhan putih sudah banyak yang merasa tidak puas dengan ulah Busu Biawan. Mereka juga memiliki keluarga yang secara langsung merasakan beratnya beban pajak dan upeti yang mereka tanggung.
Nah..., itulah tugasmu sebagai seorang pendekar muda untuk mencari para pendekar yang tidak puas dan menggalang kekuatan untuk menarik mandat yang telah dititipkan pada Busu Biawan.
****
RUPANYA perbuatan Busu Biawan tidak saja dirasakan oleh Panting Kalang dan Patih Ampat, namun sebenarnya sudah lama membikin prihatin dan gundah tokoh-tokoh buhan putih lainnya yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang hakiki. Hanya karena merasa kemampuan sendiri tidak terlalu tinggi, maka perasaan itu dipendam saja dalam hati mereka.
Biksu Sindu Darma, ketua Bihara Bakula (Biara Bunga Tanjung), mengirimkan surat kepada Busu Biawan agar berhenti ‘mengemis’ dana kepada para raja karena memberatkan rakyat di Hujung Tanah. Memerangi kejahatan memang sudah tugas dan kewajiban buhan hirang, apabila niat yang suci itu sudah dikotori oleh keinginan mendapatkan pamrih, maka tindakan itu bukan lagi tindakan seorang pandikar buhan putih, melainkan tindakan seorang buntat atau tacut (tukang pukul), begitu kata Biksu Sindu Darma dalam suratnya.
Surat itu tidak digubris oleh Busu Biawan.
Merasa nasihatnya tidak ditanggapi, Biksu Sindu Darma tersinggung juga. Bihara Bakula merupakan salah satu tihang umang jagat pandikar (tiang utama dunia persilatan) di Tanjungnagara selain Kuwil Padma (Kuil Teratai). Sikap Busu Biawan dianggapnya melecehkan Bihara Bakula yang sudah ratusan tahun dihormati buhan pandikar.
Biksu Sindu Darma segera menyebar undangan kepada buhan pandikar. Ratusan pendekar berkumpul di Bihara Bakula, termasuk Busu Biawan dan para pendekar yang mendukungnya.
Pertemuan para pendekar itu berlangsung alot. Kelompok Biksu Sindu Darma dan Busu Biawan saling adu argumen. Namun tampaknya orang-orang yang sudah bersikap antipati pada Busu Biawan lebih banyak.
“Busu Biawan dianggap telah menyalahgunakan amanat yang diberikan kepadanya oleh buhan pandikar di Hujung Tanah.
Walaupun meminta sokongan dana bukanlah kejahatan, namun karena dana yang dianggarkan pihak kerajaan ternyata hasil dari menaikkan pungutan pajak dan upeti di kerajaan masing-masing yang ujung-ujungnya membebani rakyat. Padahal kehidupan rakyat sudah menderita akibat kejahatan buhan hirang.
Maka pandikar buhan putih sepakat melepaskan diri dari ikatan janji setia kepada hahulu pandikar cakang paksina Busu Biawan. Mulai saat ini, buhan putih tidak mengakui Busu Biawan lagi sebagai hahulu pandikar cakang paksina.” begitulah bunyi keputusan para pendekar.
“Aku memperoleh kedudukan hahulu cakang selain karena kepercayaan sebagian kawan-kawan pendekar, juga karena memiliki sedikit kemampuan,” kata Busu Biawan dengan muka mengelam. Selain memberatkan hatinya, tentu saja pencopotan jabatannya itu membuatnya sangat malu.
“Jabatan ini akan kuserahkan kepada kawan-kawan yang telah memilihku, tapi siapa yang bersedia untuk mengambilnya?”
Hadirin terdiam. Kata-kata ‘mengambil’ bukanlah ucapan seadanya, tapi penuh makna. Sebuah tantangan! Artinya Busu Biawan akan menyerahkan jabatan hahulu cakang kepada orang yang mampu mengalahkannya!
Para pendekar yang hadir di situ sebagian besar sudah menyaksikan kemampuan Busu Biawan ketika orang tua itu berhasil mengalahkan lawan-lawannya dalam perebutan untuk memilih hahulu pandikar cakang paksina beberapa waktu yang lalu di markas Kindaikaji Karantika Panjarau.
Beberapa pendekar yang tidak sempat datang waktu pemilihan hahulu cakang merasa panas kupingnya mendengar ucapan Busu Biawan. Satu persatu maju menyambut tantangan Busu Biawan. Dimulai dengan Patuha Lumbing dari Pulau Kadap. Namun setelah bergebrak 50 jurus, Busu Biawan dapat melemparkannya ke luar arena. Kemudian disusul oleh Julak Mahantang, Utuh Karau, Julak Wawan dan Utuh Gandang. Rata-rata mereka dapat dikalahkan Busu Biawan di bawah 50 jurus.
Panting Kalang sudah mendapat amanat dari Patih Ampat untuk ikut melengserkan Busu Biawan. Pemuda ini memang belum banyak memiliki ‘jam terbang’ dalam pertarungan dengan tokoh-tokoh jagat pandikar kelas atas. Namun ilmu-ilmu yang didapat dari guru dan kakek-gurunya, membuatnya memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi Busu Biawan.
Melihat usia Panting Kalang masih begitu muda, Busu Biawan tersenyum sinis. “Anak muda, kurasa kau cukup umpat kambing tumbur haja,[3] tidak perlu mengorbankan diri sampai badan babak belur nantinya.”
“Jangan kau anggap anak muda tidak memiliki kemampuan, Su,” kata Panting Kalang. “Usia belum tentu dapat dijadikan patokan untuk menilai kemampuan seseorang. Ulun akui, pian memang hebat dalam ilmu silat, namun dalam hal mengekang hawa nafsu pian belum dapat dikatakan matang. Buktinya jabatan hahulu cakang saja membuat pian lupa diri, apalagi kalau sampai menjabat hahulu barataan jagat pandikar Tanjungnagara!” (Ketua umum dunia persilatan Pulau Kalimantan).
Paras Busu Biawan langsung berubah.
“Jabatan hahulu cakang adalah kepercayaan buhan pandikar agar pian dapat memimpin buhan putih memerangi kejahatan. Tapi belum terlihat hasil yang pian perbuat, pian sudah meminta kucuran dana dari para raja di Hujung Tanah ini. Yang pian pikirkan hanya upah pekerjaan buhan pian. Seakan-akan pian takut kalau tidak sempat lagi mengumpulkan harta kalau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk memerangi buhan hirang.
Di hadapan buhan hirang pian dengan lantang mengatakan mewakili buhan putih dan rakyat yang tertindas untuk menumpas mereka dengan embel-embel demi keadilan dan kebenaran.
Tapi pian sendiri pernahkah berpikir dan merasakan bahwa sebagian tindakan pian sebenarnya secara tidak langsung menyengsarakan rakyat dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang pian agung-agungkan itu?”
“Ya...., hahulu mata duitan!” tiba-tiba ada hadirin yang menyelutuk.
“Musang berbulu ayam!”
“Pendekar munafik!”
“Engkau sebenarnya adalah penjahat yang dilegitimasi kerajaan.”
“Katanya mewakili buhan putih untuk menumpas kejahatan, tak tahunya engkau menjual nama kami untuk menumpuk kekayaan!” Para pendekar mulai terpancing emosinya dan mengeluarkan kata-kata makian. Paras Busu Biawan semakin mengelam.
“Hem....,” orang tua itu mendengus keras. “Sekarang silakan kau ambil jabatanku ini. Tampaknya sebagian kawan-kawan pendekar memang sudah tidak menyukai aku lagi.”
Panting Kalang memberi hormat pada Busu Biawan. Lalu dia menyerang. Pertarungan seru segera terjadi. Penonton berdecak kagum melihat pemuda itu mampu mengimbangi kesaktian Busu Biawan. Tanpa terasa 50 jurus berlalu dan Panting Kalang memperlihatkan kemampuannya.
Penonton bersorak, seakan-akan setelah Panting Kalang dapat bertahan lewat 50 jurus, maka kemenangan mungkin akan diraihnya. Dan ternyata itu terbukti, sebuah pukulan yang disebut Pupuhan Mahalungkar Gunung (Pukulan Membongkar Gunung) membuat Busu Biawan terlempar dengan memuntahkan darah segar.
Penonton kembali bersorak. “Hidup Panting Kalang!”
“Hidup hahulu cakang yang baru.”
Beberapa pendekar muda ada yang terdiam. Entah kagum akan kehebatan Panting Kalang atau iri dengan keberhasilannya mengalahkan Busu Biawan. Tapi ada juga yang langsung berseru, “Ayo buktikan kalau kita kaum muda juga mampu menjadi pemimpin, bukan sekedar berteriak-teriak saja!”
Panting Kalang tersenyum, katanya, “Tidak ada sedikit pun niat di hatiku bahwa tampilnya aku di sini untuk mengambil alih jabatan hahulu cakang,” kata Panting Kalang. “Biarlah untuk memimpin buhan putih kita percayakan kepada yang tua. Bagaimanapun aku yakin, masih banyak orang tua yang bijaksana.
Kalau aku yang masih muda ini menjadi hahulu cakang, yang tua mungkin akan merasa berat hati dan yang muda mungkin banyak yang menjadi iri atau dengki.”
Busu Biawan masih bersila memulihkan luka dalamnya. Dia telah terluka secara fisik dan mental. Tapi salahnya sendiri, kepercayaan orang dijadikannya kesempatan untuk mencari kekayaan dan kekuasaan.
Sekarang, apa yang dia miliki? kepandaian...? Mungkin masih dapat dia pulihkan. Tapi Kepercayaan orang? Kehormatan...? Bagaimana dia dapat meraihnya kembali?”
****
03 Pebruari 2007


[1]Ketua dunia persilatan cabang selatan.
[2]daerah Kalimantan bagian tenggara (sekarang termasuk ke dalam wilayah Propinsi Kalimantan Selatan).
[3]ikut kambing ribut, maksudnya ikut-ikutan saja.

4 komentar: