SANG KETUA
(Versi Bahasa Indonesia Cerpen Hahulu)
SEMENJAK terpilih
sebagai Hahulu pandikar cakang paksina,[1] Busu Biawan mulai kemaruk kekuasaan dan
harta. Dia membentuk pasukan talabang jaba yang terdiri dari
pendekar-pendekar yang loyal kepadanya untuk memberantas kejahatan. Dana
operasional untuk memberantas kejahatan diperoleh dari kerajaan-kerajaan yang
berada di Hujung Tanah[2]
seperti Nagara Dipa, Parama Artapura, Muhara Takus dan Tanah Bumbu. Dana yang
dikucurkan para raja membuat dia dan anak buahnya kaya raya.
Para raja di Hujung Tanah
memang tidak segan-segan mengucurkan dana yang diminta Busu Biawan karena
merasa lebih praktis kalau masalah kejahatan yang dilakukan oleh buhan
hirang (golongan hitam) ditumpas oleh buhan putih (golongan putih),
seteru abadi mereka di jagat pandikar (dunia persilatan). Kalau urusan
kejahatan buhan hirang ditumpas oleh kerajaan, para raja kuatir urusan
akan berkepanjangan. Buhan hirang tentu akan menaruh dendam pada pihak
kerajaan, dan sewaktu-waktu nyawa para raja atau keluarga mereka pasti akan
terancam.
Kalau urusan menumpas kejahatan
itu dilakukan oleh buhan pandikar sendiri, para raja tidak peduli atau
ambil pusing kalau balas membalas terjadi di antara mereka.
Namun sebagai konsekuensinya,
rakyat kerajaanlah yang menanggung akibatnya. Dana untuk kegiatan Busu Biawan
diambil para raja dari hasil menaikkan pajak dan upeti dalam negeri
masing-masing.
Panting Kalang, seorang pendekar
muda yang baru terjun ke jagat pandikar menjadi prihatin melihat keadaan
ini. “Sebagai seorang pandikar dari buhan putih, menegakkan
keadilan dan kebenaran adalah kewajiban tanpa pamrih,” batin pemuda itu. “Kalau
niat menegakkan keadilan dan kebenaran tujuannya untuk mencari kekuasaan atau
kekayaan, sungguh tidak pantas disebut pandikar.”
Panting Kalang menemui Patih
Ampat, para paman-seperguruannya di kotaraja Nagara Dipa. Patih Ampat memang
sudah melihat ketidakberesan yang dilakukan Busu Biawan. “Waktu dia masih
menjabat sebagai hahulu Kindaikaji Karantika Panjarau (Perguruan Bintang
Terang) dedikasinya yang tanpa pamrih dalam menumpas kejahatan sangat dipuji
orang,” ujar Patih Pambalah Batung.
“Tapi setelah dirinya terpilih
menjadi hahulu cakang, ternyata kekuasaan yang lebih tinggi dan harta
membuatnya lupa diri. Yang dia pikirkan sekarang harta melulu....!”
“Ya..., dia tidak tahu betapa
rakyat di Hujung Tanah menjadi menderita dan terbebani karena ulahnya
itu,” menyahut Patih Garuntung Waluh.
“Itulah salah satu sifat lemah
manusia,” tambah Patih Garuntung Manau. “Mereka terkadang sulit untuk lepas
dari kaji tampuli atau aji mumpung. Seperti peribahasa, kaya Bagung
jadi raja.... Mumpung memiliki kekuasaan, manfaatkan kekuasaan itu
sebaik-baiknya sebelum terlepas atau diambil orang.”
“Kenapa Paman sekalian tidak
mengusulkan kepada Baginda untuk menghentikan kucuran dana kepada Busu Biawan? Ulun
kira kalau Nagara Dipa berani menghentikan bantuan, kerajaan lain di Hujung
Tanah akan mengikutinya,” kata Panting Kalang.
“Tidak semudah itu,” kata Patih
Garuntung Waluh. “Busu Biawan telah memiliki jaringan yang kuat dengan belasan kindaikaji. Seandainya Baginda Suryanata menghentikan
kucuran dana pada Busu Biawan, bisa-bisa Nagara Dipa akan menjadi sarang
pelarian para penjahat buhan hirang.”
“Maksud Paman?”
“Busu Biawan tentu akan berusaha
mengamankan kerajaan yang masih menyokongnya dan para pelaku kejahatan akan
‘digiringnya’ untuk mengacau di kerajaan
yang menghentikan kerjasama dengannya.”
“Kalau begitu posisi raja
sekarang seperti duduk di punggung macan,” kata Panting Kalang. “Turun salah,
tetap duduk juga salah..., Hem, ulun kira yang dapat menghentikan ulah
Busu Biawan hanyalah buhan pandikar sendiri.
“Tentu saja. Yang memilih Busu
Biawan sebagai hahulu cakang adalah buhan putih, maka yang harus
melengserkannya juga harus buhan putih,” kata Patih Garuntung Waluh.
“Kukira para pendekar buhan putih sudah banyak yang merasa tidak puas
dengan ulah Busu Biawan. Mereka juga memiliki keluarga yang secara langsung
merasakan beratnya beban pajak dan upeti yang mereka tanggung.
Nah..., itulah tugasmu sebagai seorang
pendekar muda untuk mencari para pendekar yang tidak puas dan menggalang
kekuatan untuk menarik mandat yang telah dititipkan pada Busu Biawan.
****
RUPANYA perbuatan
Busu Biawan tidak saja dirasakan oleh Panting Kalang dan Patih Ampat, namun
sebenarnya sudah lama membikin prihatin dan gundah tokoh-tokoh buhan putih
lainnya yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang hakiki. Hanya
karena merasa kemampuan sendiri tidak terlalu tinggi, maka perasaan itu
dipendam saja dalam hati mereka.
Biksu Sindu Darma, ketua Bihara
Bakula (Biara Bunga Tanjung), mengirimkan surat kepada Busu Biawan agar
berhenti ‘mengemis’ dana kepada para raja karena memberatkan rakyat di Hujung
Tanah. Memerangi kejahatan memang sudah tugas dan kewajiban buhan hirang,
apabila niat yang suci itu sudah dikotori oleh keinginan mendapatkan pamrih,
maka tindakan itu bukan lagi tindakan seorang pandikar buhan putih,
melainkan tindakan seorang buntat atau tacut (tukang pukul),
begitu kata Biksu Sindu Darma dalam suratnya.
Surat itu tidak digubris oleh
Busu Biawan.
Merasa nasihatnya tidak
ditanggapi, Biksu Sindu Darma tersinggung juga. Bihara Bakula merupakan
salah satu tihang umang jagat pandikar (tiang utama dunia persilatan) di
Tanjungnagara selain Kuwil Padma (Kuil Teratai). Sikap Busu
Biawan dianggapnya melecehkan Bihara Bakula yang sudah ratusan tahun
dihormati buhan pandikar.
Biksu Sindu Darma segera menyebar
undangan kepada buhan pandikar. Ratusan pendekar berkumpul di Bihara
Bakula, termasuk Busu Biawan dan para pendekar yang mendukungnya.
Pertemuan para pendekar itu
berlangsung alot. Kelompok Biksu Sindu Darma dan Busu Biawan saling adu
argumen. Namun tampaknya orang-orang yang sudah bersikap antipati pada Busu
Biawan lebih banyak.
“Busu Biawan dianggap telah
menyalahgunakan amanat yang diberikan kepadanya oleh buhan pandikar di Hujung
Tanah.
Walaupun meminta sokongan dana
bukanlah kejahatan, namun karena dana yang dianggarkan pihak kerajaan ternyata
hasil dari menaikkan pungutan pajak dan upeti di kerajaan masing-masing yang ujung-ujungnya
membebani rakyat. Padahal kehidupan rakyat sudah menderita akibat kejahatan buhan
hirang.
Maka pandikar buhan
putih sepakat melepaskan diri dari ikatan janji setia kepada hahulu
pandikar cakang paksina Busu Biawan. Mulai saat ini, buhan putih
tidak mengakui Busu Biawan lagi sebagai hahulu pandikar cakang paksina.”
begitulah bunyi keputusan para pendekar.
“Aku memperoleh kedudukan hahulu
cakang selain karena kepercayaan sebagian kawan-kawan pendekar, juga karena
memiliki sedikit kemampuan,” kata Busu Biawan dengan muka mengelam. Selain
memberatkan hatinya, tentu saja pencopotan jabatannya itu membuatnya sangat
malu.
“Jabatan ini akan kuserahkan
kepada kawan-kawan yang telah memilihku, tapi siapa yang bersedia untuk
mengambilnya?”
Hadirin terdiam. Kata-kata
‘mengambil’ bukanlah ucapan seadanya, tapi penuh makna. Sebuah tantangan!
Artinya Busu Biawan akan menyerahkan jabatan hahulu cakang kepada orang
yang mampu mengalahkannya!
Para pendekar yang hadir di situ
sebagian besar sudah menyaksikan kemampuan Busu Biawan ketika orang tua itu
berhasil mengalahkan lawan-lawannya dalam perebutan untuk memilih hahulu
pandikar cakang paksina beberapa waktu yang lalu di markas Kindaikaji
Karantika Panjarau.
Beberapa pendekar yang tidak
sempat datang waktu pemilihan hahulu cakang merasa panas kupingnya
mendengar ucapan Busu Biawan. Satu persatu maju menyambut tantangan Busu
Biawan. Dimulai dengan Patuha Lumbing dari Pulau Kadap. Namun setelah bergebrak
50 jurus, Busu Biawan dapat melemparkannya ke luar arena. Kemudian disusul oleh
Julak Mahantang, Utuh Karau, Julak Wawan dan Utuh Gandang. Rata-rata mereka
dapat dikalahkan Busu Biawan di bawah 50 jurus.
Panting Kalang sudah mendapat
amanat dari Patih Ampat untuk ikut melengserkan Busu Biawan. Pemuda ini memang
belum banyak memiliki ‘jam terbang’ dalam pertarungan dengan tokoh-tokoh jagat
pandikar kelas atas. Namun ilmu-ilmu yang didapat dari guru dan
kakek-gurunya, membuatnya memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi Busu
Biawan.
Melihat usia Panting Kalang masih
begitu muda, Busu Biawan tersenyum sinis. “Anak muda, kurasa kau cukup umpat
kambing tumbur haja,[3]
tidak perlu mengorbankan diri sampai badan babak belur nantinya.”
“Jangan kau anggap anak muda
tidak memiliki kemampuan, Su,” kata Panting Kalang. “Usia belum tentu dapat
dijadikan patokan untuk menilai kemampuan seseorang. Ulun akui, pian memang
hebat dalam ilmu silat, namun dalam hal mengekang hawa nafsu pian belum
dapat dikatakan matang. Buktinya jabatan hahulu cakang saja membuat pian
lupa diri, apalagi kalau sampai menjabat hahulu barataan jagat pandikar
Tanjungnagara!” (Ketua umum dunia persilatan Pulau Kalimantan).
Paras Busu Biawan langsung
berubah.
“Jabatan hahulu cakang adalah
kepercayaan buhan pandikar agar pian dapat memimpin buhan
putih memerangi kejahatan. Tapi belum terlihat hasil yang pian perbuat,
pian sudah meminta kucuran dana dari para raja di Hujung Tanah
ini. Yang pian pikirkan hanya upah pekerjaan buhan pian.
Seakan-akan pian takut kalau tidak sempat lagi mengumpulkan harta kalau
mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk memerangi buhan hirang.
Di hadapan buhan hirang pian
dengan lantang mengatakan mewakili buhan putih dan rakyat yang
tertindas untuk menumpas mereka dengan embel-embel demi keadilan dan kebenaran.
Tapi pian sendiri pernahkah
berpikir dan merasakan bahwa sebagian tindakan pian sebenarnya secara
tidak langsung menyengsarakan rakyat dan bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan dan kebenaran yang pian agung-agungkan itu?”
“Ya...., hahulu mata
duitan!” tiba-tiba ada hadirin yang menyelutuk.
“Musang berbulu ayam!”
“Pendekar munafik!”
“Engkau sebenarnya adalah
penjahat yang dilegitimasi kerajaan.”
“Katanya mewakili buhan putih
untuk menumpas kejahatan, tak tahunya engkau menjual nama kami untuk menumpuk
kekayaan!” Para pendekar mulai terpancing emosinya dan mengeluarkan kata-kata
makian. Paras Busu Biawan semakin mengelam.
“Hem....,” orang tua itu
mendengus keras. “Sekarang silakan kau ambil jabatanku ini. Tampaknya sebagian
kawan-kawan pendekar memang sudah tidak menyukai aku lagi.”
Panting Kalang memberi hormat
pada Busu Biawan. Lalu dia menyerang. Pertarungan seru segera terjadi. Penonton
berdecak kagum melihat pemuda itu mampu mengimbangi kesaktian Busu Biawan.
Tanpa terasa 50 jurus berlalu dan Panting Kalang memperlihatkan kemampuannya.
Penonton bersorak, seakan-akan
setelah Panting Kalang dapat bertahan lewat 50 jurus, maka kemenangan mungkin
akan diraihnya. Dan ternyata itu terbukti, sebuah pukulan yang disebut Pupuhan
Mahalungkar Gunung (Pukulan Membongkar Gunung) membuat Busu Biawan
terlempar dengan memuntahkan darah segar.
Penonton kembali bersorak. “Hidup
Panting Kalang!”
“Hidup hahulu cakang yang
baru.”
Beberapa pendekar muda ada yang
terdiam. Entah kagum akan kehebatan Panting Kalang atau iri dengan
keberhasilannya mengalahkan Busu Biawan. Tapi ada juga yang langsung berseru,
“Ayo buktikan kalau kita kaum muda juga mampu menjadi pemimpin, bukan sekedar
berteriak-teriak saja!”
Panting Kalang tersenyum,
katanya, “Tidak ada sedikit pun niat di hatiku bahwa tampilnya aku di sini
untuk mengambil alih jabatan hahulu cakang,” kata Panting Kalang.
“Biarlah untuk memimpin buhan putih kita percayakan kepada yang tua.
Bagaimanapun aku yakin, masih banyak orang tua yang bijaksana.
Kalau aku yang masih muda ini
menjadi hahulu cakang, yang tua mungkin akan merasa berat hati dan yang
muda mungkin banyak yang menjadi iri atau dengki.”
Busu Biawan masih bersila
memulihkan luka dalamnya. Dia telah terluka secara fisik dan mental. Tapi
salahnya sendiri, kepercayaan orang dijadikannya kesempatan untuk mencari
kekayaan dan kekuasaan.
Sekarang, apa yang dia miliki?
kepandaian...? Mungkin masih dapat dia pulihkan. Tapi Kepercayaan orang?
Kehormatan...? Bagaimana dia dapat meraihnya kembali?”
****
03 Pebruari 2007
Banjar, nih ye...!
BalasHapusBanjar banar...
BalasHapusIyalah...? Tarima kasih.
HapusNgitu ngarannya banjar
BalasHapus